Rabu, 19 Januari 2011

Episode Ujung Negeri "Pulau Rupat"

Saksikan Ujung Negeri Jum'at 21 Januari 2011 jam 16.00 wib di tv one. Episode Pulau Rupat "Nasionalisme di Tapal Batas"

Rabu, 12 Januari 2011

Eps Ujung Negeri

Saksikan ujung negeri Jum'at 14/1/2011 jam 16.00 wib di Tv One. Potret buramnya perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat "Pukau Ringgit di Entikong"

Jumat, 07 Januari 2011

Episode Ujung Negeri


Episode Natuna (Reporter: Nuray Rifat dan Camera Person: Febri Nahar)
Pulau Tiga, Pulau Panjang dan Pulau Senua

Perjalanan menuju Natuna dimulai dari Batam. Batam adalah salah satu potret pulau terluar yang dikembangkan oleh pemerintah pusat sebagai kota kembar Singapura, tak heran beragam fasilitas penunjang disediakan.
Untuk mengetahui bagaimana kondisi pulau-pulau terluar yang terserak di wilayah Kepulauan Riau, tim pun memutuskan melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat perintis menuju Natuna. Pesawat berjenis baling-baling ini hanya melakukan tiga kali penerbangan setiap minggunya. Jadi kalau hendak menuju Natuna, haruslah memperhitungkan waktu terbang pesawat perintis ini.
Natuna sebenarnya merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Pemerintah pusat melakukan ekplorasi secara besar-besaran di wilayah yang berada di Selat Karimata ini. Tapi sayang, ketika cuaca buruk, para warga Natuna harus rela mengantri berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkan pasokan BBM. Pembangunan di Natuna pun memang lebih dipusatkan di Ranai, padahal banyak pulau terluar atau pulau terdepan yang terserak di sini.
Di Natuna, hampir 30 persen penduduknya menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Karena tidak ada investor yang mau menanamkan modalnya di sini.
Selain kaya akan minyak dan gas, Natuna dikenal sebagai daerah penghasil ikan. Seperti Pulau Tiga, wilayah gugusan kepulauan yang berada di sebelah barat Natuna ini adalah surganya ikan. Untuk mencapai pulau ini, tim menyewa perahu pompong dari dermaga Sedanau. Untuk mencapai pulau terluar, moda angkutan laut adalah satu-satunya alat transportasi. Delapan puluh persen penduduknya berprofesi sebagai nelayan.
Di pulau yang lokasinya dekat laut Cina Selatan ini, banyak terjadi pencurian ikan yang dilakukan nelayan-nelayan asing. Tentunya, dengan alat berteknologi modern. Dan hal itu tak dapat dicegah oleh warga pulau, karena mereka hanya menggunakan alat sederhana.
Jejak pencurian ikan terlihat jelas di sini, puluhan kapal-kapal asing ditangkap dan dikaramkan. Bahkan, para nelayan yang ditangkap pun harus menjalani proses hokum sebelum dideportasi ke negaranya masing-masing. Tapi tetap saja, kerugian negara selama sebulan di Natuna ditaksir mencapai 10 triliun rupiah.
Tak hanya itu, para nelayan dan pemilik kerambah pun mengandalkan penjualan ikan kepada kapal-kapal nelayan berbendera Hongkong yang berada di perairan Laut Cina Selatan. Harga yang dibanderol lumayan tinggi. Bayangkan saja kalau mereka menjual hasil tangkapan ke wilayah Indonesia, jarak tempuh begitu jauh dan harganya pun sangat tak rasional.
Pulau Senua menjadi target perjalanan tim selanjutnya. Dengan menyewa kapal nelayan dari pelabuhan Sepempang, tim menuju pulau yang terlihat seperti ibu hamil ini. Pulau ini merupakan titik ukur batas wilayah Indonesia dengan negara lain, tapi nyatanya tak ada penghuninya.
Warga Natuna hanya menjadikan pulau ini sebagai tempat berkebun, ketika musim angin utara datang. Karena nelayan tak bisa melaut. Tak heran tak ada penghuni, sentuhan pemerintah hanya ada pada bangunan pembangkit listrik tenaga surya, sementara bagian lain pulau dibiarkan kosong. Kapal pun tak bisa merapat dekat, karena dermaga yang ada rusak. Tim pun harus berenang untuk mencapai daratan pulau ini.
Berkeliling di pulau Senua bisa dilakukan dengan berjalan kaki, kalau saja air laut surut. Tim yang datang tak bisa melakukan itu, dan memilih perahu nelayan untuk mengantar berkeliling menikmati keindahan pulau berbukit. Belum lama berselang, ombak besar dan angin kencang menghempas kapal, tim pun memutuskan untuk kembali ke pelabuhan Sepempang.
Perjalanan tim dilanjutkan ke Pulau Panjang. Pulau yang hanya dihuni tiga kepala keluarga ini. Menggunakan mobil empat garden ternyata tak banyak membantu. Mobil terjebak lumpur ganas selama perjalanan. Fasilitas jalan tidak diperhatikan oleh pemerintah di pulau-pulau terluar. Tim pun bermalam di tengah perjalanan sambil menunggu mobil bantuan.
Pagi hari, tim kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini mobil yang tim tumpangi berhasil melewati terjangan lumpur. Tim melintas di desa Pengadah dan Teluk Buton, desa nelayan yang jauh dari kesan pembangunan. Menggunakan pompon, tim pun menginjakkan kaki di pulau Panjang. Listrik menjadi barang mahal di sini.
Tim bertemu Usman dan Burhan, hampir setiap minggunya kedua warga pulau ini mengumpulkan telur-telur penyu hijau untuk dibiakkan. Setelah tukik berumur setahun, mereka dikembalikan ke laut. Tak ada uang bantuan dari siapa pun termasuk pemerintah. Mereka melakukan ini atas dasar kecintaannya menyelamatkan asset bangsa ini. Meski hidup dalam keterbatasan, mereka tetap mengakui Indonesia sebagai ibu pertiwinya.     

Episode Ujung Negeri


Episode Natuna (Reporter: Nuray Rifat dan Camera Person: Febri Nahar)
Pulau Tiga, Pulau Panjang dan Pulau Senua

Perjalanan menuju Natuna dimulai dari Batam. Batam adalah salah satu potret pulau terluar yang dikembangkan oleh pemerintah pusat sebagai kota kembar Singapura, tak heran beragam fasilitas penunjang disediakan.
Untuk mengetahui bagaimana kondisi pulau-pulau terluar yang terserak di wilayah Kepulauan Riau, tim pun memutuskan melanjutkan perjalanan menggunakan pesawat perintis menuju Natuna. Pesawat berjenis baling-baling ini hanya melakukan tiga kali penerbangan setiap minggunya. Jadi kalau hendak menuju Natuna, haruslah memperhitungkan waktu terbang pesawat perintis ini.
Natuna sebenarnya merupakan wilayah yang kaya akan sumber daya alam, terutama minyak dan gas. Pemerintah pusat melakukan ekplorasi secara besar-besaran di wilayah yang berada di Selat Karimata ini. Tapi sayang, ketika cuaca buruk, para warga Natuna harus rela mengantri berjam-jam bahkan berhari-hari untuk mendapatkan pasokan BBM. Pembangunan di Natuna pun memang lebih dipusatkan di Ranai, padahal banyak pulau terluar atau pulau terdepan yang terserak di sini.
Di Natuna, hampir 30 persen penduduknya menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Karena tidak ada investor yang mau menanamkan modalnya di sini.
Selain kaya akan minyak dan gas, Natuna dikenal sebagai daerah penghasil ikan. Seperti Pulau Tiga, wilayah gugusan kepulauan yang berada di sebelah barat Natuna ini adalah surganya ikan. Untuk mencapai pulau ini, tim menyewa perahu pompong dari dermaga Sedanau. Untuk mencapai pulau terluar, moda angkutan laut adalah satu-satunya alat transportasi. Delapan puluh persen penduduknya berprofesi sebagai nelayan.
Di pulau yang lokasinya dekat laut Cina Selatan ini, banyak terjadi pencurian ikan yang dilakukan nelayan-nelayan asing. Tentunya, dengan alat berteknologi modern. Dan hal itu tak dapat dicegah oleh warga pulau, karena mereka hanya menggunakan alat sederhana.
Jejak pencurian ikan terlihat jelas di sini, puluhan kapal-kapal asing ditangkap dan dikaramkan. Bahkan, para nelayan yang ditangkap pun harus menjalani proses hokum sebelum dideportasi ke negaranya masing-masing. Tapi tetap saja, kerugian negara selama sebulan di Natuna ditaksir mencapai 10 triliun rupiah.
Tak hanya itu, para nelayan dan pemilik kerambah pun mengandalkan penjualan ikan kepada kapal-kapal nelayan berbendera Hongkong yang berada di perairan Laut Cina Selatan. Harga yang dibanderol lumayan tinggi. Bayangkan saja kalau mereka menjual hasil tangkapan ke wilayah Indonesia, jarak tempuh begitu jauh dan harganya pun sangat tak rasional.
Pulau Senua menjadi target perjalanan tim selanjutnya. Dengan menyewa kapal nelayan dari pelabuhan Sepempang, tim menuju pulau yang terlihat seperti ibu hamil ini. Pulau ini merupakan titik ukur batas wilayah Indonesia dengan negara lain, tapi nyatanya tak ada penghuninya.
Warga Natuna hanya menjadikan pulau ini sebagai tempat berkebun, ketika musim angin utara datang. Karena nelayan tak bisa melaut. Tak heran tak ada penghuni, sentuhan pemerintah hanya ada pada bangunan pembangkit listrik tenaga surya, sementara bagian lain pulau dibiarkan kosong. Kapal pun tak bisa merapat dekat, karena dermaga yang ada rusak. Tim pun harus berenang untuk mencapai daratan pulau ini.
Berkeliling di pulau Senua bisa dilakukan dengan berjalan kaki, kalau saja air laut surut. Tim yang datang tak bisa melakukan itu, dan memilih perahu nelayan untuk mengantar berkeliling menikmati keindahan pulau berbukit. Belum lama berselang, ombak besar dan angin kencang menghempas kapal, tim pun memutuskan untuk kembali ke pelabuhan Sepempang.
Perjalanan tim dilanjutkan ke Pulau Panjang. Pulau yang hanya dihuni tiga kepala keluarga ini. Menggunakan mobil empat garden ternyata tak banyak membantu. Mobil terjebak lumpur ganas selama perjalanan. Fasilitas jalan tidak diperhatikan oleh pemerintah di pulau-pulau terluar. Tim pun bermalam di tengah perjalanan sambil menunggu mobil bantuan.
Pagi hari, tim kembali melanjutkan perjalanan. Kali ini mobil yang tim tumpangi berhasil melewati terjangan lumpur. Tim melintas di desa Pengadah dan Teluk Buton, desa nelayan yang jauh dari kesan pembangunan. Menggunakan pompon, tim pun menginjakkan kaki di pulau Panjang. Listrik menjadi barang mahal di sini.
Tim bertemu Usman dan Burhan, hampir setiap minggunya kedua warga pulau ini mengumpulkan telur-telur penyu hijau untuk dibiakkan. Setelah tukik berumur setahun, mereka dikembalikan ke laut. Tak ada uang bantuan dari siapa pun termasuk pemerintah. Mereka melakukan ini atas dasar kecintaannya menyelamatkan asset bangsa ini. Meski hidup dalam keterbatasan, mereka tetap mengakui Indonesia sebagai ibu pertiwinya.