Kamis, 31 Maret 2011

Ujung Negeri (Eps. Pulau Sebatik)


Ujung Negeri
Episode Pulau Sebatik

Sebatik adalah pulau terluar Indonesia yang menyimpan banyak potensi. Pulau yang masuk di Kabupaten Nunukan ini berbatasan langsung dengan Tawau, Malaysia.

Menuju Pulau Sebatik ditempuh menggunakan perahu boat dengan waktu tempuh 2,5 jam dari Tarakan atau 30 menit dari Nunukan. Tim Ujung Negeri (Reporter: Golda Naya/ Camera Person: Febri Nalias) masuk melalui Tarakan. Pelabuhan Tangkayu, tak pernah sepi dari hiruk pikuk kapal boat.

Untuk menuju ke Pulau Sebatik, kita tidak boleh melupakan jadwal keberangkatan kapal boat. Pukul 13.30 WITA, adalah waktu keberangkatan kapal boat terakhir menuju ke pelabuhan Sei Senyamuk. Karena lewat dari jam itu, ombak tinggi seringkali menghantam kapal-kapal pengangkut penumpang. Biaya setiap penumpangnya menuju Sebatik 175 ribu.

Tiba di Sei Senyamuk, banyak mini boat yang menawarkan jasa mengantar menuju Tawa, Malaysia. Bepergian ke sana tidaklah sulit, mereka tinggal mendatangi kantor imigrasi dan meminta cap di buku pas lintas batas.

Tim yang tiba sore hari hanya disuguhkan pemandangan kantor imigrasi yang lusuh dengan kondisi dermaga yang ambrol. Maklum, operasional kantor hingga jam 17.00 WITA.

Penduduk Sebatik memang serba Malaysia, bahkan hingga kebutuhan pokok. Memang bukan hal yang aneh, karena Sebatik bagian Utara adalah wilayah kekuasaan Malaysia. Sedangkan Indonesia menempati Sebatik bagian Selatan.

Kampung Aji Kuning, adalah contoh bagaimana Sebatik terbagi dalam 2 negara. Batas kampung ini ditandai dengan patok semen yang hampir tak terlihat dan pos pengamanan perbatasan yang kecil dan tak terawat.

Selain soal patok batas negara, sungai Aji Kuning juga masih menjadi problem yang tak pernah usai. Warga kedua negara dengan bebas keluar masuk tanpa dokumen apapun.

Banyak warga Indonesia yang rumahnya berada di dalam wilayah 2 negara. Rumah bapak Mapangara, separuhnya berada di Indonesia, sedangkan separuh lainnya yang berfungsi sebagai dapur berada di wilayah Malaysia.

Kebanyakan penduduk Sebatik dulunya menempati rumah di wilayah Indonesia. Karena dianggap terlalu kecil, mereka membangun bagian lain rumah di negara jiran. Banyak rumah penduduk yang tak memiliki sertifikat.

Ibu Hana adalah warga Indonesia yang menyewa rumah di wilayah Aji Kuning milik Malaysia. Wanita asal Bone ini tinggal di Malaysia, tapi memiliki KTP Indonesia.

Pemandangan serupa juga bisa dijumpai di kampung Sei Melayu. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi kita harus meminta izin petugas jaga perbatasan Malaysia.

Banyak warga Indonesia yang ingin berubah kewarganegaraannya menjadi Malaysia. Ibu Darmawati yang tim temui tinggal menunggu ijin mendapatkan kewarganegaraan negeri jiran, karena ia punya penjamin adiknya yang bekerja di Tawau. Tapi tetap saja, Darma tetap mempertahankan KTP Indonesia.

Mata pencaharian penduduk Sebatik adalah berkebun. Salah satu andalannya adalah pisang. Pisang ini dipasarkan langsung ke Tawau, karena harganya yang tinggi.

Selepas Shubuh, para petani mengunakan speed boat mengangkut hasil kebun ke palabuhan Tanjung Batu, Malaysia. Mereka memilih sampai di sana pagi, karena kalau kesiangan hasil kebun tak akan dibeli.

Untuk menjaga wilayah NKRI, tentara yang ditugaskan di batas negara ini seringkali melakukan patroli dan membantu penduduk. Mereka seringkali menjadi guru bahasa Inggris dan agama Islam bagi anak-anak Sebatik.

Untuk membuktikan benarkah banyak warga Indonesia yang pindah kewarganegaraan, tim pun berangkat menuju Tawau. Setiap penumpang harus membayar 15 RM untuk sekali perjalanan.  Ternyata Tawau menjadi magnet penduduk Sebatik.

Sentra perdagangan Tawau dihuni banyak pedagang asal Indonesia. Semua hasil bumi Indonesia dari wilayah Sebatik dijajakan di sini. Dan banyak pedagang yang pindah kewarganegaraan Malaysia karena kehidupan lebih terjamin.

Ujung Negeri (Eps. Pulau Sebatik)


Ujung Negeri
Episode Pulau Sebatik

Sebatik adalah pulau terluar Indonesia yang menyimpan banyak potensi. Pulau yang masuk di Kabupaten Nunukan ini berbatasan langsung dengan Tawau, Malaysia.

Menuju Pulau Sebatik ditempuh menggunakan perahu boat dengan waktu tempuh 2,5 jam dari Tarakan atau 30 menit dari Nunukan. Tim Ujung Negeri (Reporter: Golda Naya/ Camera Person: Febri Nalias) masuk melalui Tarakan. Pelabuhan Tangkayu, tak pernah sepi dari hiruk pikuk kapal boat.

Untuk menuju ke Pulau Sebatik, kita tidak boleh melupakan jadwal keberangkatan kapal boat. Pukul 13.30 WITA, adalah waktu keberangkatan kapal boat terakhir menuju ke pelabuhan Sei Senyamuk. Karena lewat dari jam itu, ombak tinggi seringkali menghantam kapal-kapal pengangkut penumpang. Biaya setiap penumpangnya menuju Sebatik 175 ribu.

Tiba di Sei Senyamuk, banyak mini boat yang menawarkan jasa mengantar menuju Tawa, Malaysia. Bepergian ke sana tidaklah sulit, mereka tinggal mendatangi kantor imigrasi dan meminta cap di buku pas lintas batas.

Tim yang tiba sore hari hanya disuguhkan pemandangan kantor imigrasi yang lusuh dengan kondisi dermaga yang ambrol. Maklum, operasional kantor hingga jam 17.00 WITA.

Penduduk Sebatik memang serba Malaysia, bahkan hingga kebutuhan pokok. Memang bukan hal yang aneh, karena Sebatik bagian Utara adalah wilayah kekuasaan Malaysia. Sedangkan Indonesia menempati Sebatik bagian Selatan.

Kampung Aji Kuning, adalah contoh bagaimana Sebatik terbagi dalam 2 negara. Batas kampung ini ditandai dengan patok semen yang hampir tak terlihat dan pos pengamanan perbatasan yang kecil dan tak terawat.

Selain soal patok batas negara, sungai Aji Kuning juga masih menjadi problem yang tak pernah usai. Warga kedua negara dengan bebas keluar masuk tanpa dokumen apapun.

Banyak warga Indonesia yang rumahnya berada di dalam wilayah 2 negara. Rumah bapak Mapangara, separuhnya berada di Indonesia, sedangkan separuh lainnya yang berfungsi sebagai dapur berada di wilayah Malaysia.

Kebanyakan penduduk Sebatik dulunya menempati rumah di wilayah Indonesia. Karena dianggap terlalu kecil, mereka membangun bagian lain rumah di negara jiran. Banyak rumah penduduk yang tak memiliki sertifikat.

Ibu Hana adalah warga Indonesia yang menyewa rumah di wilayah Aji Kuning milik Malaysia. Wanita asal Bone ini tinggal di Malaysia, tapi memiliki KTP Indonesia.

Pemandangan serupa juga bisa dijumpai di kampung Sei Melayu. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi kita harus meminta izin petugas jaga perbatasan Malaysia.

Banyak warga Indonesia yang ingin berubah kewarganegaraannya menjadi Malaysia. Ibu Darmawati yang tim temui tinggal menunggu ijin mendapatkan kewarganegaraan negeri jiran, karena ia punya penjamin adiknya yang bekerja di Tawau. Tapi tetap saja, Darma tetap mempertahankan KTP Indonesia.

Mata pencaharian penduduk Sebatik adalah berkebun. Salah satu andalannya adalah pisang. Pisang ini dipasarkan langsung ke Tawau, karena harganya yang tinggi.

Selepas Shubuh, para petani mengunakan speed boat mengangkut hasil kebun ke palabuhan Tanjung Batu, Malaysia. Mereka memilih sampai di sana pagi, karena kalau kesiangan hasil kebun tak akan dibeli.

Untuk menjaga wilayah NKRI, tentara yang ditugaskan di batas negara ini seringkali melakukan patroli dan membantu penduduk. Mereka seringkali menjadi guru bahasa Inggris dan agama Islam bagi anak-anak Sebatik.

Untuk membuktikan benarkah banyak warga Indonesia yang pindah kewarganegaraan, tim pun berangkat menuju Tawau. Setiap penumpang harus membayar 15 RM untuk sekali perjalanan.  Ternyata Tawau menjadi magnet penduduk Sebatik.

Sentra perdagangan Tawau dihuni banyak pedagang asal Indonesia. Semua hasil bumi Indonesia dari wilayah Sebatik dijajakan di sini. Dan banyak pedagang yang pindah kewarganegaraan Malaysia karena kehidupan lebih terjamin.

Ujung Negeri (Eps. Pulau Sebatik)


Ujung Negeri
Episode Pulau Sebatik

Sebatik adalah pulau terluar Indonesia yang menyimpan banyak potensi. Pulau yang masuk di Kabupaten Nunukan ini berbatasan langsung dengan Tawau, Malaysia.

Menuju Pulau Sebatik ditempuh menggunakan perahu boat dengan waktu tempuh 2,5 jam dari Tarakan atau 30 menit dari Nunukan. Tim Ujung Negeri (Reporter: Golda Naya/ Camera Person: Febri Nalias) masuk melalui Tarakan. Pelabuhan Tangkayu, tak pernah sepi dari hiruk pikuk kapal boat.

Untuk menuju ke Pulau Sebatik, kita tidak boleh melupakan jadwal keberangkatan kapal boat. Pukul 13.30 WITA, adalah waktu keberangkatan kapal boat terakhir menuju ke pelabuhan Sei Senyamuk. Karena lewat dari jam itu, ombak tinggi seringkali menghantam kapal-kapal pengangkut penumpang. Biaya setiap penumpangnya menuju Sebatik 175 ribu.

Tiba di Sei Senyamuk, banyak mini boat yang menawarkan jasa mengantar menuju Tawa, Malaysia. Bepergian ke sana tidaklah sulit, mereka tinggal mendatangi kantor imigrasi dan meminta cap di buku pas lintas batas.

Tim yang tiba sore hari hanya disuguhkan pemandangan kantor imigrasi yang lusuh dengan kondisi dermaga yang ambrol. Maklum, operasional kantor hingga jam 17.00 WITA.

Penduduk Sebatik memang serba Malaysia, bahkan hingga kebutuhan pokok. Memang bukan hal yang aneh, karena Sebatik bagian Utara adalah wilayah kekuasaan Malaysia. Sedangkan Indonesia menempati Sebatik bagian Selatan.

Kampung Aji Kuning, adalah contoh bagaimana Sebatik terbagi dalam 2 negara. Batas kampung ini ditandai dengan patok semen yang hampir tak terlihat dan pos pengamanan perbatasan yang kecil dan tak terawat.

Selain soal patok batas negara, sungai Aji Kuning juga masih menjadi problem yang tak pernah usai. Warga kedua negara dengan bebas keluar masuk tanpa dokumen apapun.

Banyak warga Indonesia yang rumahnya berada di dalam wilayah 2 negara. Rumah bapak Mapangara, separuhnya berada di Indonesia, sedangkan separuh lainnya yang berfungsi sebagai dapur berada di wilayah Malaysia.

Kebanyakan penduduk Sebatik dulunya menempati rumah di wilayah Indonesia. Karena dianggap terlalu kecil, mereka membangun bagian lain rumah di negara jiran. Banyak rumah penduduk yang tak memiliki sertifikat.

Ibu Hana adalah warga Indonesia yang menyewa rumah di wilayah Aji Kuning milik Malaysia. Wanita asal Bone ini tinggal di Malaysia, tapi memiliki KTP Indonesia.

Pemandangan serupa juga bisa dijumpai di kampung Sei Melayu. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi kita harus meminta izin petugas jaga perbatasan Malaysia.

Banyak warga Indonesia yang ingin berubah kewarganegaraannya menjadi Malaysia. Ibu Darmawati yang tim temui tinggal menunggu ijin mendapatkan kewarganegaraan negeri jiran, karena ia punya penjamin adiknya yang bekerja di Tawau. Tapi tetap saja, Darma tetap mempertahankan KTP Indonesia.

Mata pencaharian penduduk Sebatik adalah berkebun. Salah satu andalannya adalah pisang. Pisang ini dipasarkan langsung ke Tawau, karena harganya yang tinggi.

Selepas Shubuh, para petani mengunakan speed boat mengangkut hasil kebun ke palabuhan Tanjung Batu, Malaysia. Mereka memilih sampai di sana pagi, karena kalau kesiangan hasil kebun tak akan dibeli.

Untuk menjaga wilayah NKRI, tentara yang ditugaskan di batas negara ini seringkali melakukan patroli dan membantu penduduk. Mereka seringkali menjadi guru bahasa Inggris dan agama Islam bagi anak-anak Sebatik.

Untuk membuktikan benarkah banyak warga Indonesia yang pindah kewarganegaraan, tim pun berangkat menuju Tawau. Setiap penumpang harus membayar 15 RM untuk sekali perjalanan.  Ternyata Tawau menjadi magnet penduduk Sebatik.

Sentra perdagangan Tawau dihuni banyak pedagang asal Indonesia. Semua hasil bumi Indonesia dari wilayah Sebatik dijajakan di sini. Dan banyak pedagang yang pindah kewarganegaraan Malaysia karena kehidupan lebih terjamin.

Ujung Negeri (Eps. Pulau Sebatik)


Ujung Negeri
Episode Pulau Sebatik

Sebatik adalah pulau terluar Indonesia yang menyimpan banyak potensi. Pulau yang masuk di Kabupaten Nunukan ini berbatasan langsung dengan Tawau, Malaysia.

Menuju Pulau Sebatik ditempuh menggunakan perahu boat dengan waktu tempuh 2,5 jam dari Tarakan atau 30 menit dari Nunukan. Tim Ujung Negeri (Reporter: Golda Naya/ Camera Person: Febri Nalias) masuk melalui Tarakan. Pelabuhan Tangkayu, tak pernah sepi dari hiruk pikuk kapal boat.

Untuk menuju ke Pulau Sebatik, kita tidak boleh melupakan jadwal keberangkatan kapal boat. Pukul 13.30 WITA, adalah waktu keberangkatan kapal boat terakhir menuju ke pelabuhan Sei Senyamuk. Karena lewat dari jam itu, ombak tinggi seringkali menghantam kapal-kapal pengangkut penumpang. Biaya setiap penumpangnya menuju Sebatik 175 ribu.

Tiba di Sei Senyamuk, banyak mini boat yang menawarkan jasa mengantar menuju Tawa, Malaysia. Bepergian ke sana tidaklah sulit, mereka tinggal mendatangi kantor imigrasi dan meminta cap di buku pas lintas batas.

Tim yang tiba sore hari hanya disuguhkan pemandangan kantor imigrasi yang lusuh dengan kondisi dermaga yang ambrol. Maklum, operasional kantor hingga jam 17.00 WITA.

Penduduk Sebatik memang serba Malaysia, bahkan hingga kebutuhan pokok. Memang bukan hal yang aneh, karena Sebatik bagian Utara adalah wilayah kekuasaan Malaysia. Sedangkan Indonesia menempati Sebatik bagian Selatan.

Kampung Aji Kuning, adalah contoh bagaimana Sebatik terbagi dalam 2 negara. Batas kampung ini ditandai dengan patok semen yang hampir tak terlihat dan pos pengamanan perbatasan yang kecil dan tak terawat.

Selain soal patok batas negara, sungai Aji Kuning juga masih menjadi problem yang tak pernah usai. Warga kedua negara dengan bebas keluar masuk tanpa dokumen apapun.

Banyak warga Indonesia yang rumahnya berada di dalam wilayah 2 negara. Rumah bapak Mapangara, separuhnya berada di Indonesia, sedangkan separuh lainnya yang berfungsi sebagai dapur berada di wilayah Malaysia.

Kebanyakan penduduk Sebatik dulunya menempati rumah di wilayah Indonesia. Karena dianggap terlalu kecil, mereka membangun bagian lain rumah di negara jiran. Banyak rumah penduduk yang tak memiliki sertifikat.

Ibu Hana adalah warga Indonesia yang menyewa rumah di wilayah Aji Kuning milik Malaysia. Wanita asal Bone ini tinggal di Malaysia, tapi memiliki KTP Indonesia.

Pemandangan serupa juga bisa dijumpai di kampung Sei Melayu. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi kita harus meminta izin petugas jaga perbatasan Malaysia.

Banyak warga Indonesia yang ingin berubah kewarganegaraannya menjadi Malaysia. Ibu Darmawati yang tim temui tinggal menunggu ijin mendapatkan kewarganegaraan negeri jiran, karena ia punya penjamin adiknya yang bekerja di Tawau. Tapi tetap saja, Darma tetap mempertahankan KTP Indonesia.

Mata pencaharian penduduk Sebatik adalah berkebun. Salah satu andalannya adalah pisang. Pisang ini dipasarkan langsung ke Tawau, karena harganya yang tinggi.

Selepas Shubuh, para petani mengunakan speed boat mengangkut hasil kebun ke palabuhan Tanjung Batu, Malaysia. Mereka memilih sampai di sana pagi, karena kalau kesiangan hasil kebun tak akan dibeli.

Untuk menjaga wilayah NKRI, tentara yang ditugaskan di batas negara ini seringkali melakukan patroli dan membantu penduduk. Mereka seringkali menjadi guru bahasa Inggris dan agama Islam bagi anak-anak Sebatik.

Untuk membuktikan benarkah banyak warga Indonesia yang pindah kewarganegaraan, tim pun berangkat menuju Tawau. Setiap penumpang harus membayar 15 RM untuk sekali perjalanan.  Ternyata Tawau menjadi magnet penduduk Sebatik.

Sentra perdagangan Tawau dihuni banyak pedagang asal Indonesia. Semua hasil bumi Indonesia dari wilayah Sebatik dijajakan di sini. Dan banyak pedagang yang pindah kewarganegaraan Malaysia karena kehidupan lebih terjamin.

Ujung Negeri (Eps. Pulau Sebatik)


Ujung Negeri
Episode Pulau Sebatik

Sebatik adalah pulau terluar Indonesia yang menyimpan banyak potensi. Pulau yang masuk di Kabupaten Nunukan ini berbatasan langsung dengan Tawau, Malaysia.

Menuju Pulau Sebatik ditempuh menggunakan perahu boat dengan waktu tempuh 2,5 jam dari Tarakan atau 30 menit dari Nunukan. Tim Ujung Negeri (Reporter: Golda Naya/ Camera Person: Febri Nalias) masuk melalui Tarakan. Pelabuhan Tangkayu, tak pernah sepi dari hiruk pikuk kapal boat.

Untuk menuju ke Pulau Sebatik, kita tidak boleh melupakan jadwal keberangkatan kapal boat. Pukul 13.30 WITA, adalah waktu keberangkatan kapal boat terakhir menuju ke pelabuhan Sei Senyamuk. Karena lewat dari jam itu, ombak tinggi seringkali menghantam kapal-kapal pengangkut penumpang. Biaya setiap penumpangnya menuju Sebatik 175 ribu.

Tiba di Sei Senyamuk, banyak mini boat yang menawarkan jasa mengantar menuju Tawa, Malaysia. Bepergian ke sana tidaklah sulit, mereka tinggal mendatangi kantor imigrasi dan meminta cap di buku pas lintas batas.

Tim yang tiba sore hari hanya disuguhkan pemandangan kantor imigrasi yang lusuh dengan kondisi dermaga yang ambrol. Maklum, operasional kantor hingga jam 17.00 WITA.

Penduduk Sebatik memang serba Malaysia, bahkan hingga kebutuhan pokok. Memang bukan hal yang aneh, karena Sebatik bagian Utara adalah wilayah kekuasaan Malaysia. Sedangkan Indonesia menempati Sebatik bagian Selatan.

Kampung Aji Kuning, adalah contoh bagaimana Sebatik terbagi dalam 2 negara. Batas kampung ini ditandai dengan patok semen yang hampir tak terlihat dan pos pengamanan perbatasan yang kecil dan tak terawat.

Selain soal patok batas negara, sungai Aji Kuning juga masih menjadi problem yang tak pernah usai. Warga kedua negara dengan bebas keluar masuk tanpa dokumen apapun.

Banyak warga Indonesia yang rumahnya berada di dalam wilayah 2 negara. Rumah bapak Mapangara, separuhnya berada di Indonesia, sedangkan separuh lainnya yang berfungsi sebagai dapur berada di wilayah Malaysia.

Kebanyakan penduduk Sebatik dulunya menempati rumah di wilayah Indonesia. Karena dianggap terlalu kecil, mereka membangun bagian lain rumah di negara jiran. Banyak rumah penduduk yang tak memiliki sertifikat.

Ibu Hana adalah warga Indonesia yang menyewa rumah di wilayah Aji Kuning milik Malaysia. Wanita asal Bone ini tinggal di Malaysia, tapi memiliki KTP Indonesia.

Pemandangan serupa juga bisa dijumpai di kampung Sei Melayu. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi kita harus meminta izin petugas jaga perbatasan Malaysia.

Banyak warga Indonesia yang ingin berubah kewarganegaraannya menjadi Malaysia. Ibu Darmawati yang tim temui tinggal menunggu ijin mendapatkan kewarganegaraan negeri jiran, karena ia punya penjamin adiknya yang bekerja di Tawau. Tapi tetap saja, Darma tetap mempertahankan KTP Indonesia.

Mata pencaharian penduduk Sebatik adalah berkebun. Salah satu andalannya adalah pisang. Pisang ini dipasarkan langsung ke Tawau, karena harganya yang tinggi.

Selepas Shubuh, para petani mengunakan speed boat mengangkut hasil kebun ke palabuhan Tanjung Batu, Malaysia. Mereka memilih sampai di sana pagi, karena kalau kesiangan hasil kebun tak akan dibeli.

Untuk menjaga wilayah NKRI, tentara yang ditugaskan di batas negara ini seringkali melakukan patroli dan membantu penduduk. Mereka seringkali menjadi guru bahasa Inggris dan agama Islam bagi anak-anak Sebatik.

Untuk membuktikan benarkah banyak warga Indonesia yang pindah kewarganegaraan, tim pun berangkat menuju Tawau. Setiap penumpang harus membayar 15 RM untuk sekali perjalanan.  Ternyata Tawau menjadi magnet penduduk Sebatik.

Sentra perdagangan Tawau dihuni banyak pedagang asal Indonesia. Semua hasil bumi Indonesia dari wilayah Sebatik dijajakan di sini. Dan banyak pedagang yang pindah kewarganegaraan Malaysia karena kehidupan lebih terjamin.

Rabu, 30 Maret 2011

Ujung Negeri (Eps. Natuna)


Ujung Negeri
Episode Natuna

Melangkah lebih jauh menuju pulau-pulau terluar di wilayah Natuna memang tak mudah. Perjalanan dimulai dari Batam, pulau di provinsi Kepulauan Riau yang menjadi urat bisnis Indonesia.

Lokasi Batam memang strategis, berbatasan langsung dengan Malaysia dan Singapura. Batam disiapkan menjadi kota kembar Singapura, dan bersalin menjadi kota metropolitan. Batam adalah potret pulau terdepan yang mendapat perhatian khusus pemerintah.

Rasa ingin tahu soal kondisi pulau terdepan, tim Ujung Negeri (Reporter: Nuray Rifat/ Camera Person: Febri Nahar) terbang ke Natuna, kabupaten yang terletak di sebelah utara Povinsi Kepri.

Menggunakan pesawat berjenis ATR atau dikenal dengan baling-baling, tim harus memperhitungkan jadwal penerbangan. Dalam seminggu, hanya ada tiga kali penerbangan dari Batam ke Natuna.

Pemandangan dari atas pesawat perintis ini begitu indah. Moda angkutan favorit warga Natuna, tak heran pesawat selalu penuh.

Setelah satu jam di udara, tim tiba di bandar udara Ranai, Natuna. Bandara milik TNI AU ini digunakan sebagai tempat mendaratnya pesawat-pesawat perintis ke dan dari Natuna. Tak ada bandara sipil di sini. Semua fasilitas di bandara terbilang sederhana, pengambilan bagasi masih dilakukan secara manual.

Tapi jangan salah kesederhanaan ketika awal tiba di sini hilang ketika tim melihat megahnya kantor Bupati Natuna. Pusat kantor pemerintah ini berdiri di bukit Arai dengan latar belakang gunung di punggungnya.

Keindahan alam menjadi kekuatan Natuna, di sepanjang bibir pantai, pasir putih terserak. Ditambah lagi hiasan batu-batu besar yang khas berbentuk belimbing.

Pulau Natuna terletak di Laut Cina Selatan, tepatnya di Selat Karimata. Berbatasan langsung dengan Vietnam dan Kamboja di bagian Utara, Singapura dan Malaysia di bagian Barat.

Kabupaten Natuna terkenal sebagai penghasil minyak dan gas. Cadangan minyak bumi diperkirakan mencapai 14.386.470 barel, sedangkan gas bumi 122.356.680 barel.

Puluhan stasiun pengebor minyak di lepas pantai terserak di sekitar Natuna. Tapi meski sebagai penghasil minyak, Natuna masih tergantung pada kondisi alam buat mendapatkan pasokan BBM. Seperti bulan November hingga Februari, BBM jadi langka. Antrean panjang di SPBU menjadi pemandangan di jalan-jalan. Bahkan banyak pemilik kendaraan, meninggalkan kendaraannya dalam antrean tersebut.

Tak hanya penghasil minyak, Natuna juga kaya akan sumber daya laut, terutama ikan. Tapi sayang belum tergarap. Bahkan, jadi sasaran empuk illegal fishing yang dilakukan nelayan negara-negara tetangga.

Tim menjelajah Pulau Tiga. Salah satu gugusan pulau di bagian barat Natuna yang menjadi surga penghasil ikan. Pulua Tiga terletak di perairan terbuka Laut Cina Selatan. Hampir semua penduduk bekerja sebagai nelayan. Desa Selanding adalah salah satu sentranya. Di sini banyak terdapat tempat pembiakan ikan yang nantinya akan dipasarkan ke dunia internasional.

Bukti maraknya pencurian ikan juga dijumpai di sini. Puluhan kapal nelayan Thailand, Vietnam, bahkan Malaysia yang tertangkap dikaramkan. Sejak lima bulan silam, 10 kapal asing ditangkap petugas TNI AL dan patroli Departemen Kelautan dan Perikanan. Kapal-kapal asing ini menangkap ikan menggunakan pukat harimau dan jaring-jaring raksasa berteknologi tinggi.

Tiap tahunnya, Indonesia kehilangan potensi laut sekitar 10 triliun. Tidak hanya kapal yang dikaramkan, awaknya pun diproses secara hukum. Pencurian ikan memang menjadi masalah tersendiri buat pulau terluar, tak terkecuali Natuna.

Tidak hanya pencurian ikan, batas wilayah juga menjadi masalah tersendiri buat pulau terluar seperti Natuna. Karena tapal batas terluar negeri ini diukur dari pulau terdepan. Jika pulau terdepan tak dijaga, bukan tidak mungkin wilayah Indonesia akan terus menyusut.
Karenanya, pemerintah diminta terlibat dalam penjagaan sejumlah pulau terdepan, khususnya yang tak berpenghuni.

Pulau Senua, terletak di sebelah timur Natuna. Senua masuk dalam gugusan pulau Natuna Besar yang berbatasan langsung dengan Malaysia. Pulau kecil yang elok, berbentuk bukit dengan pantai yang landai berpasir putih.

Tapi sayang, kondisi pulau ini cukup memprihatinkan. Selain dermaga yang ambrol dihantam ombak, tak ada penjaga di pulau ini. Sentuhan pemerintah pusat hanya terlihat dari bangunan pembangkit listrik tenaga surya yang dibiarkan kosong. PLTS bukan menjadi kebutuhan bagi penduduk yang dulunya direncanakan menetap di pulau. Mereka juga butuh bantuan kapal dan fasilitas buat menangkap ikan.

Pulau tak berpenghuni dengan luas 0,32 km persegi ini termasuk dalam wilayah Desa Sepempang, Kecamatan Bunguran. Senua menjadi pulau transit bagi nelayan yang sedang melaut. Pulau ini menjadi kebun bagi penduduk musiman yang berada di pulau lainnya karena tanah yang subur.

Ketika tim tiba di sana, sempat bertemu dengan Karmin. Nelayan Pulau Natuna yang memiliki kebun kelapa di Senua. Tiap beberapa pekan sekali, ia harus mengunjungi pulau ini. Karmin pun membangun rumah di atas batu karang.

Sebenarnya, jika sedang surut kita bisa berkeliling pulau dengan berjalan kaki. Tapi karena air sedang pasang, berkeliling dengan perahu pompong menjadi satu-satunya pilihan. Baru saja berkeliling, hujan turun sangat lebat. Perahu yang tim tumpangi dihantam ombak besar. Tim mengurungkan niat mengelilingi pulau yang kaya akan hasil lautnya ini dan kembali ke Desa Sepempang.

Tim pun melanjutkan perjalanan ke Pulau Panjang yang terletak di sebelah Utara. Tak mudah untuk mencapai pulau ini. Jalan rusak dan berlumpur jadi tantangan tersendiri. Lumpur tebal menghambat perjalanan tim. Mobil tak bisa bergera, terjebak lumpur.

Hingga malam menjelang, mobil belum bisa keluar dari lumpur. Tim menunggu bantuan derek dari kota. Menghilangkan lelah dan lapar, tim membakar ikan yang didapat di Pulau Senua. Kondisi jalan, membuat tim harus bermalam di hutan.

Pagi hari bantuan baru datang. Mobil kami berhasil diderek keluar. Hujan yang terus mengguyur membuat tim memutuskan kembali ke kota. Cuaca yang ekstrem dan medan yang sulit membuat kondisi fisik Reporter: Nuray Rifat melemah. Ia pun dirawat di RSUD Natuna.

Keesokan harinya, tim melanjutkan kembali perjalanan ke pulau. Keberuntungan mendampingi tim, mobil berhasil melewati lumpur. Di tengah perjalanan menuju Pulau Panjang, tim melalui desa nelayan yang indah. Desa Teluk Buton, tim menyewa perahu untuk melanjutkan perjalanan.

Menyeberang lautan di malam hari, membuat perjalanan tim berasa panjang. Tak ada gemerlap cahaya di pulau seberang, hanya ada beberapa cahaya redup dari kejauhan. Sampai juga tim di pulau Panjang.

Menghabiskan waktu sebelum tidur, tim berbincang dengan warga pulau yang dihuni oleh 3 kepala keluarga ini. Mereka selalu hidup dalam kegelapan, karena hanya mengandalkan mesin genset dengan harga BBM yang selangit. Mereka memilih hidup di sini, karena hanya di pulau mereka bisa memenuhi kehidupan sehari-hari. Meski hanya ikan hasil tangkapan dan sedikit telur ikan, menu makan malam tim dan warga pulau begitu nikmat.

Kehidupan pagi di pulau ini seakan waktu terhenti. Tak ada hiruk pikuk seperti di kota besar. Pasir putih dan ikan menjadi pemandangan di pantai pulau.

Disebut Pulau Panjang, karena penduduk Desa Buton melihat kondisi pulau ini yang memanjang. Panjang pulau sekitar 5 kilometer dan lebar 350 meter.
Karena jarang dijamah, cukup mudah menemukan jejak penyu hijau di pulau. Pak Usman, adalah pelestari penyu hijau di Pulau Panjang. Hampir setiap hari, beliau mengumpulkan telur dan menetaskannya hingga menjadi tukik sebelum dilepas kembali ke laut. Tak ada bantuan sepeser pun dari pemerintah, ia bekerja dengan ikhlas untuk menyelamatkan makhluk kecil yang lucu ini.

Tidak ada fasilitas umum di pulau ini. Buat sekolah dan pelayanan kesehatan, penduduk harus menyeberang ke Teluk Buton. Pencurian ikan, membuat hidup semakin sulit.

Ketiga pulau di wilayah Natuna ini adalah potret buram pulau terluar di negeri ini. Warga yang mayoritas nelayan dibiarkan berhadapan langsung dengan nelayan asing yang mencuri ikan di halaman lautnya.

Ujung Negeri (Eps. Pulau Rupat)


Ujung Negeri
EPisode: Pulau Rupat

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sekurangnya 18.306 pulau terhampar dari Aceh hingga Papua. Dari banyak pulau itu, sebagian besar terserak di garis perbatasan. tentunya, menjadi beranda Indonesia bagi negara tetangga.

Pulau Rupat, salah satu beranda Indonesia yang terletak di gugusan dalam Kabupaten Bengkalis. Luas pulau ini hanya 1.500 km persegi, atau tiga kali lebih luas dari negara Singapura.

Menuju pulau terluar hanya bisa mengandalkan transportasi laut. Pelabuhan Sungai Duku menjadi titik perjalanan menuju Rupat.

Tak ada transportasi umum yang menyediakan jasa langsung menuju Rupat. Tim Ujung Negeri (Reporter: Nuray Rifat/ Camera Person: Ibnu Hartanto) harus transit lebih dulu di Bengkalis. Butuh waktu tiga jam perjalanan. Selama itu, sejumlah film Malaysia terus diputar. Rasa negeri jiran meruap dari kapal yang tim tumpangi.

Setelah menyusuri Sungai Siak, kapal merapat. Sambil menunggu keberangkatan kapal selanjutnya menuju Dumai, tim melihat kota Bengkalis.

Di Bengkalis, seperti terlempar di salah satu sudut kampung Malaysia. Perpaduan etnis Melayu dan Tionghoa menjadi bagian yang tak terceraikan. Kesan Malaysia begitu kental, penduduk berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu Malaysia.Bengkalis menjadi surga pasar makanan dan minuman kaleng asal Malaysia.

Perjalanan dilanjutkan menuju Dumai. Satu setengah jam, tim tiba di pelabuhan Dumai dan meneruskan perjalanan menuju Rupat menggunakan perahu pompong. Dermaga Batupanjang, adalah dermaga sederhana sebagai pintu masuk Pulau Rupat.

Pulau Rupat terbagi menjadi dua kecamatan, Rupat dan Rupat Utara. Menelusuri pulau ini seperti pergi ke tanah asing. Suasana tradisional dan infrastruktur terbatas jadi potret keseharian.

Padahal jarak Rupat tak jauh dari kota industri Dumai. Tapi soal pembangunan, Rupat seperti tertinggal puluhan tahun. Jangan harap bisa berkeliling pulau ini menggunakan mobil. Lantaran banyak jalan yang patah dan ambrol.

Masyarakat Rupat menyandarkan kehidupan pada alam. Hampir  di setiap sudut, kebun sawit tumbuh menutup pandangan. Transportasi dan jarak yang jauh ke ibukota, menyebabkan mereka lebih memilih menjual hasil panen ke Malaysia. Belum lagi harga yang ditawarkan lebih tinggi.

Malam di Rupat gelap gulita. Listrik menjadi barang mewah. Penerangan hanya bisa dinikmati malam hari dengan  menggunakan mesin genset.

Perjalanan belum lengkap jika tak menjelajah ke Rupat  Utara, bagian pulau ini yang dekat dengan Malaysia. Jalan rusak dan berdebu jadi pemandangan selama perjalanan. Sepeda motor menjadi satu-satunya alat transportasi di sini.

Jalan yang rusak membuat perjalanan semakin panjang. Jangan harap bisa menemukan jembatan kokoh dari beton di pulau ini, yang ada hanya jembatan dari kayu yang sudah lapuk dimakan usia.

Mencapai Rupat Utara, tim harus menyeberangi sejumlah anak sungai. Begitulah masyarakat setiap harinya untuk mencapai Desa Pangkalan Nyirih, Selat Morong. Tak pernah selesai, begitulah masyarakat menyebut pembangunan jembatan di sungai kecil yang memisahkan dua wilayah ini.

Belum lama menyusuri jalan tanah, perjalanan tim harus terjeda. Untuk menyeberang ke Desa Kadur, penduduk harus mengeluarkan ongkos 1.000 per orang dan 5.000 untuk motor setiap hari.

Perjalanan panjang dan melelahkan, membawa saya sampai ke Rupat Utara. Pantai Panjang, seperti lukisan alam nan indah dengan pasir putihnya yang menghampar sejauh 13 kilometer.

Sayang, keindahan alamnya tersa sia-sia. Tak ada infrastruktur yang mendukung meski pantai ini layak dijadikan tempat tujuan wisata.

Tari Zapin Api, adalah tarian langka yang dipertunjukkan untuk menyambut kedatangan orang luar, termasuk tim Ujung Negeri. untuk bermalam di sini, tim menyewa rumah penduduk yang memang disewakan.

Keseharian masyarakat Rupat Utara adalah tayangan televisi asal Malaysia. Untuk menangkap siaran negeri jiran hanya butuh antena biasa, sementara untuk menangkap siaran negeri sendiri harus butuh biaya yang tinggi dengan memasang parabola.

Suasana berbeda, ketika tim tiba di perkampungan Tanjung Medang. Wilayah ini didominasi etnik Tionghoa. Altar sembahyang dan bendera leluhur terpasang di sudut halaman.

Masyarakat di sini kebanyak jadi penderas karet, atau budidaya sarang walet. Tapi sayang, semua hasilnya dibawa ke Malaysia. Pertimbangan jarak yang membuat itu terus berlangsung hingga sekarang.

Sepertinya, Malaysia lebih dikenal dibandingkan Indonesia bukan karena lebih makmur, tapi lebih pada kebutuhan hidup.

Di Teluk Rhu, tim menyambangi perkampungan nelayan. Banyak warga Rupat Utara di sini yang berkerabat dengan warga Malaysia seprofesi.

Kedekatan lokasi, tingginya aktivitas perdagangan antara warga Rupat Utara dan Malaysia, membuat alat tukar di sini banyak pilihan. Bisa Rupiah, bisa Ringgit.

Tim menemui hal yang unik di Rupat Utara, kebanyakan penduduk menggunakan kendaraan roda dua asal Malaysia.

Desa Titi Akar, berlokasi di jantung Pulau Rupat. Suku Akit, etnis pertama yang mendiami pulau ini. Perjalanan pun hanya bisa melalui jalur laut. Dermaga Titi Akar menyambut kedatangan saya dengan warna merah menyala.

Cin Buk Kiong, kelenteng paling tua di Provinsi Riau menjadi sejarah masuknya etnik Tionghoa di Rupat. Kelenteng ini dibangun dengan bahan bangunan dari negara tetangga. Genteng asal Malaysia dan batu bata asal Singapura. Ketergantungan yang tak akan pernah bisa  
lepas.

Ujung Negeri - Atambua

Ujung Negeri- Atambua

Senin, 07 Maret 2011

Kepulauan Talaud

Kepulauan Talaud (Marampit, Nanusa, Karatung)
Reporter: Nuray rifat
Camera Person : Marwan
PERJALANAN KALI INI ADALAH MENYAMBANGI PULAU TERLUAR DI WILAYAH SULAWESI UTARA.
BANDARA SAM RATULANGI MENJADI AWAL PERJALANAN MENUJU MELONGUANE, IBUKOTA KABUPATEN KEPULAUAN
TALAUD.
TALAUD BERJARAK 271 MIL LAUT DARI MANADO,IBUKOTA PROVINSI. LETAKNYA DI ANTARA PULAU SULAWESI
DAN PULAU MINDANAU, PHILIPINA. TAK HERAN, TALAUD DIKENAL SEBAGAI WILAYAH PERBATASAN.
MENUJU TALAUD, KITA HARUS MEMPERHITUNGKAN WAKTU YANG TEPAT. PENERBANGAN PERINTIS RUTE
MANADO-MELONGUANE HANYA ADA TIGA KALI DALAM SEMINGGU. MENGGUNAKAN PESAWAT JENIS ATR
(BALING-BALING), PERJALANAN MENUJU MELONGUANE DITEMPUH SEKITAR SATU JAM LEBIH.
BANDARA DENGAN LANDASAN PACU SELEBAR 18 METER DENGAN PANJANG 850 METER, MENJADI PEMANDANGAN
AWAL. BELUM LAGI PENGAMBILAN BAGASI YANG DILAKUKAN SECARA MANUAL, KESAN KESEDERHANAAN UNTUK
SEBUAH IBUKOTA KABUPATEN.
MELONGUANE SEAKAN TAK PERNAH TIDUR. BONGKAR MUAT KAPAL-KAPAL BESAR DARI MANADO DAN DAERAH
LAINNYA TERUS BERDATANGAN. BEGITU JUGA DENGAN PENDUDUKNYA, SIBUK MENGIKUTI DENYUT KOTA. 
MAYORITAS PENDUDUK DI MELONGUANE MEMELUK AGAMA KRISTEN PROTESTAN. TAPI KEHIDUPAN BERAGAMA
TETAP BERJALAN BERIRINGAN. BUKIT KASIH MENJADI SIMBOLNYA. DI BUKIT INI GEREJA DAN MASJID
BERDIRI SALING BERHADAPAN.
JALAN NEGARA MERUPAKAN FASILITAS YANG SEHARUSNYA BISA DIMANFAATKAN OLEH WARGANYA. TAPI TIDAK
DENGAN DI TALAUD, JALAN SUNGAI HUIL YANG MENGHUBUNGKAN KECAMATAN MELONGUANE TIMUR KE PUSAT
KOTA, RUSAK PARAH.
PEMERINTAH SEPERTINYA TERTIDUR LELAP, MASYARAKAT MELONGUANE SUDAH LELAH. PROTES TANPA
TANGGAPAN, MASYARAKAT SEOLAH DIPAKSA MENJALANI HIDUP DENGAN KETERBATASAN.
TAK HANYA JALAN TERPUTUS, UNTUK MENCAPAI PUSAT KOTA, MASYARAKAT HARUS MELEWATI SEJUMLAH
JEMBATAN KAYU YANG MULAI LAPUK.
MELONGUANE, CONTOH IBUKOTA KABUPATEN YANG MASIH BUTUH PERHATIAN AKAN PEMBANGUNAN. PADAHAL,
IA MENJADI SALAH SATU BERANDA NKRI. 
KARATUNG, MENJADI TUJUAN PERTAMA SAYA UNTUK MENYUSURI KEPULAUAN TALAUD. DARI MELONGUANE,
SAYA HARUS MENYEBERANG DENGAN SPEED BOAT MENUJU PELABUHAN LIRUNG DI PULAU SALIBABU.
UNTUK MENUJU PULAU-PULAU DI WILAYAH INI, KAPAL PELNI KM SANGIANG MENJADI PILIHAN UTAMA.
KAPAL BESAR DENGAN RUTE PULAU-PULAU TERLUAR INI HANYA BEROPERASI 2 MINGGU SEKALI. SAAT INI
ADA SEKITAR 3 KAPAL BESAR DARI PELNI DAN PERINTIS YANG MASIH BEROPERASI. 
RUANG TUNGGU PELABUHAN MENJADI TEMPAT SATU-SATUNYA MENANTI KEDATANGAN KM SANGIANG YANG
JADWALNYA BISA BERUBAH, TERGANTUNG KONDISI OMBAK DAN CUACA.
TEPAT PUKUL LIMA SUBUH, KM SANGIANG TAMPAK DARI KEJAUHAN. TERLAMBAT 6 JAM DARI JADWAL
KEBERANGKATAN YANG SEHARUSNYA PUKUL 11 MALAM.
KETERLAMABATAN JADWAL KEDATANGAN, MEMBUAT KAPAL KOKOH INI TAK BISA MERAPAT LEBIH LAMA,
KARENA HARUS MENGEJAR RUTE BERIKUTNYA. HIRUK-PIKUK PENUMPANG TAK TERELAKKAN. TAK LAMA KAPAL
PUN BERANGKAT. SAYA MEMILIH ISTIRAHAT SEJENAK MENGHILANGKAN LELAH SEMALAMAN MENUNGGU
KEDATANGAN KAPAL INI.  
KARENA CUACA YANG SEMAKIN MEMBURUK, KAPAL YANG SAYA TUMPANGI TIDAK MENERUSKAN PELAYARANNYA
MENUJU PULAU MIANGAS. KARATUNG MENJADI PEMBERHENTIAN TERAKHIR, SEBELUM KAPAL KM SANGIANG
PUTAR ARAH UNTUK KEMBALI KE TAHUNA.
PERLAHAN GUGUSAN PULAU KARATUNG MULAI TAMPAK. OMBAK TINGGI DITAMBAH ANGIN YANG KENCANG,
MEMBUAT KAPAL TIDAK BISA MERAPAT DI DERMAGA. AWAK KAPAL MENURUNKAN JANGKAR, KARENA KAPAL
HANYA BISA BERLABUH DI SEKITAR PULAU KARATUNG.
PENUMPANG TERPAKSA DITURUNKAN MELALUI TANGGA DARURAT. BEGITU JUGA DENGAN PENUMPANG DARI
PULAU KARATUNG YANG INGIN MENUMPANG KAPAL KM SANGIANG. MEREKA MENGHAMPIRI KAPAL DENGAN SPEED
BOAT NELAYAN.
DENGAN TANGGA GANTUNG SEDERHANA YANG TERBUAT DARI TALI TAMBANG DENGAN PIJAKAN KAYU,
PENUMPANG BEREBUT UNTUK NAIK DAN TURUN KAPAL. HUJAN DITAMBAH OMBAK YANG TINGGI MEMBUAT
KEADAAN MENJADI KACAU, PENUMPANG PANIK.
SPEED BOAT NELAYAN YANG MENJEMPUT AKHIRNYA BISA SAYA CAPAI. DENGAN RASA CEMAS YANG BELUM
HILANG, SAYA MELANJUTKAN PERJALANAN UNTUK MENCAPAI PULAU KARATUNG. HUJAN DERAS DAN OMBAK
YANG TINGGI MEMBUAT PERJALANAN MENUJU KARATUNG TERASA PANJANG.
KARATUNG, MERUPAKAN PULAU BERPENGHUNI YANG MENJADI IBU KOTA KECAMATAN NANUSA.  PULAU
KARATUNG MEMILIKI LUAS 25 KILOMETER PERSEGI, LETAKNYA TAK JAUH DARI PERAIRAN PHILIPINA.
KARATUNG DENGAN STATUSNYA SEBAGAI IBUKOTA KECAMATAN, TETAP TAK MEMBAWA MASYARAKAT DI PULAU
INI PADA KEHIDUPAN YANG LAYAK. LISTRIK DAN SARANA KOMUNIKASI MENJADI BARANG MEWAH DI SINI.
RASA TAK AMAN AKAN ANCAMAN LUAR PUN MENJADI KETAKUTAN SEHARI-HARI MASYARAKT KARATUNG, TAK
TERKECUALI NELAYAN. KAPAL-KAPAL BESAR PHILIPINA SERINGKALI MENYERBU NELAYAN TRADISIONAL
INDONESIA DANG MENGAMBIL HASIL TANGKAPANNYA.
KONDISI KANTOR POLISI SEBAGAI PENJAGA KEAMANAN SAMA SEKALI TAK MEMADAI.  KARATUNG SEPERTI
IBUKOTA KECAMATAN DI PULAU-PULAU TERLUAR INDONESIA. JAUH DARI PERHATIAN PEMERINTAH, SAMA
SEPERTI LETAKNYA.
PERJALANAN SAYA LANJUTKAN KE PULAU BERPENGHUNI LAINNYA, MARAMPIT. PULAU MARAMPIT MERUPAKAN
PULAU TERLUAR YANG DIBATASI OLEH SAMUDRA PASIFIK DI SEBELAH UTARA DAN TIMUR, DAN PULAU
KARATUNG DI SEBELAH BARAT.
DESA MARAMPIT INDUK DAN MARAMPIT TIMUR, DESA LALUHE, SERTA DESA DAMPULIS INDUK DAN TIMUR, 
TERCATAT MENJADI BAGIAN PULAU SELUAS 12 KILOMETER PERSEGI INI.
MAYORITAS MASYARAKAT MEMELUK AGAMA KRISTEN PROTESTAN, MARAMPIT MASIH MENYIMPAN PESONA BUDAYA
MASA LALU. HAMPIR DI SETIAP PEKARANGAN RUMAH PENDUDUK DI SINI TERTANAM BATU NISAN PARA
LELUHUR.  
UNTUK MENGETAHUI FASILITAS DAN PELAYANAN KESEHATAN DI PULAU INI, SAYA MENUJU PUSKESMAS
BERSAMA KEPALA DESA MARAMPIT. FASILITAS PUSKESMAS SUDAH TUTUP SEJAK TIGA TAHUN LALU. TAK
HANYA LISTRIK DAN BBM RUPANYA YANG MENJADI BARANG MAHAL DI PULAU-PULAU TERLUAR. KESEHATAN
PUN MENJADI BARANG MEWAH SAAT PINTU PUSKESMAS YANG SEHARUSNYA MELAYANI MASYARAKAT TERKUNCI
RAPAT.
PENDUDUK HARUS MENYEBERANG DENGAN SPEED BOAT UNTUK SAMPAI DI PULAU KARATUNG, HANYA SEKEDAR
UNTUK BEROBAT. SAYA MENGUNJUNGI POS PERBATASAN RI – PHILIPINA. MENGUNJUNGI POS PERBATASAN RI
– PHILIPINA, BENAR-BENAR MEYAKINKAN SAYA KALAU PULAU KARATUNG BEGITU RENTAN TERHADAP
GANGGUAN LUAR. PARA PRAJURIT TIDAK BISA SERING MELAKUKAN OPERASI PERBATASAN KARENA
KETERBATASAN BBM. MEREKA TERPAKSA PATUNGAN MEMBELI BBM KETIKA MELIHAT KAPAL-KAPAL ASING YANG
MASUK KE KAWASAN INDONESIA. 
SETELAH MENGUNJUNGI POS PAMTAS, SAYA LANGSUNG MENUJU DESA DAMPULIS UNTUK BERTEMU DENGAN
WARGA NEGARA PHILIPINA YANG SUDAH LAMA MENETAP DI PULAU MARAMPIT. HANYA LIMA BELAS MENIT
DENGAN KENDARAAN BERMOTOR DARI MARAMPIT, SAYA SUDAH SAMPAI DI DESA DAMPULIS.
INGIN SEKALI MENGETAHUI CARA MENGGUNAKAN TOMBAK SEDERHANA PENANGKAP IKAN, ATAU YANG BIASA
DISEBUT JUBI. SAYA PUN IKUT PARA NELAYAN ASAL PHILIPINA INI KE TENGAH LAUT.
SAYA MENGGUNAKAN PERAHU KECIL, SEDANGKAN MEREKA LANGSUNG BERENANG TANPA ALAT BANTU APA PUN
MENUJU TENGAH LAUT. 
MINIMNYA PENGHASILAN YANG MEREKA DAPAT MEMBUAT TAK SEMUA NELAYAN DI PULAU MARAMPIT MEMILIKI
PERAHU UNTUK MENANGKAP IKAN, TERMASUK MEREKA YANG BERASAL DARI PHILIPINA. MENANGKAP IKAN
DENGAN TOMBAK SEDERHANA BUATAN SENDIRI, SEPERTINYA MENJADI SATU-SATUNYA CARA UNTUK BERTAHAN
HIDUP.
PERBUKITAN YANG BERADA DI PULAU MARAMPIT, MEMBAWA SAYA PADA SEBUAH MATA AIR YANG BERASAL
DARI GUNUNG. MATANE, MATA AIR YANG TAK PERNAH KERING SEPANJANG MUSIM. AIRNYA PUN MAMPU
MENGALIRI SEMUA PENDUDUK PULAU INI DI LIMA DESA.
SEHARIAN MENANGKAP IKAN DI LAUT, TERNYATA CUKUP MELELAHKAN. SAYA PUN BERISTIRAHAT DI RUMAH
ANDERSON, SALAH SATU NELAYAN ASAL PHILIPINA.
MALAM TIBA, WAKTUNYA ANDERSON DAN KELUARGA SALING BERCENGKRAMA. DI RUMAH MUNGILNYA INI,
ANDERSON TINGGAL BERSAMA ISTRI DAN EMPAT ORANG ANAKNYA, SERTA KEDUA ORANG TUA ANDERSON YANG
SUDAH BERUSIA LANJUT.
KARENA MENCARI PEKERJAAN, MASYARAKAT DI PULAU TERLUAR PADA MASA ITU BERLABUH HINGGA KE
NEGERI TETANGGA, PHILIPINA. ITULAH YANG MEMBAWA ANDERSON PADA DUA DARAH, SEPERTI ASAL ORANG
TUANYA, INDONESIA DAN PHILIPINA.
HARI SEMAKIN LARUT, SAYA PUN MEMUTUSKAN UNTUK ISTIRAHAT SEBELUM LAMPU DI DESA INI  SERENTAK
PADAM. TUJUAN TERAKHIR, ADALAH SEBUAH KECAMATAN DENGAN CERITA YANG CUKUP MENGUSIK RASA INGIN
TAHU SAYA.
KECAMATAN TERSEBUT BERADA DI PULAU KARAKELANG, KABUPATEN KEPULAUAN TALAUD. CUACA BURUK
DENGAN OMBAK TINGGI MENJADI PEMADANGAN, KARENA UNTUK MENUJU DESA ITU HARUS MELINTASI LAUTAN
PASIFIC.
TIGA JAM MENEMPUH PERJALANAN LAUT, MEMBAWA SAYA KE TEMPAT TUJUAN, SEBUAH KECAMATAN
TAMPANAMMA. KECAMATAN TAMPANAMMA MERUPAKAN BAGIAN DARI PULAU KARAKELANG. TENTANG PEMBANGUNAN
DAN FASILITAS KECAMATAN INI JELAS JAUH TERTINGGAL DARI KECAMATAN SEBELUMNYA YANG SUDAH SAYA
KUNJUNGI. 
PAGI INI RUPANYA ADA PELAKSANAAN UPACARA ADAT PELEPASAN KAPAL BARU KE TENGAH LAUT. KAPAL
KAYU SEDERHANA INI DIBUAT MASYARAKAT DESA SECARA GOTONG ROYONG. HINGGA PEMBUATAN KAPAL
SELESAI, MASYARAKAT DESA DI KECAMATAN TAMPANAMMA INI TETAP BERGOTONG ROYONG MENARIK KAPAL KE
TENGAH LAUT. PERAHU INI NANTINYA AKAN MENGANGKUT MASYARAKAT TANPANAMMA MENUJU RAINIS, TEMPAT
MEMBELI BERBAGAI KEBUTUHAN SEHARI-HARI.
  
BARU SAJA BERBINCANG-BINCANG DENGAN KEPALA DESA MENGENAI SARANA TRANSPORTASI YANG BELUM
MEMADAI, TIBA-TIBA SAJA SAYA MELIHAT BUKTI NYATA, BETAPA SULITNYA MASYARAKAT KETIKA
MENGALAMI SAKIT.
KAKEK YANG SEDANG SAKIT INI CONTOHNYA. GEROBAK KAYU PUN MENJADI SATU-SATUNYA SARANA
TRANSPORTASI UNTUK MENUJU PUSKESMAS.  
BEBERAPA SUNGAI KECIL YANG MELINTASI KECAMATAN TAMPANAMMA MEMAKSA WARGA UNTUK MENYEBERANG
DENGAN RAKIT. SATU-SATUNYA CARA UNTUK SAMPAI DI DESA SEBERANG, KARENA TAK TERSEDIANYA JALAN
DARAT YANG CUKUP MEMADAI.

MULAI DARI IBU-IBU, PEKERJA KEBUN, HINGGA ANAK SEKOLAH HARUS RELA MEROGOH UANG RECEH SETIAP
HARINYA, UNTUK MEMBAYAR JASA RAKIT.HARGA YANG SEHARUSNYA TAK MEREKA PIKUL SENDIRI. HARUSKAH
MEREKA MEMBAYAR HAK UNTUK SEBUAH FASILITAS UMUM DI NEGERI SENDIRI ? 
JASA PENYEBERANGAN DENGAN RAKIT TAK SELALU ADA SETIAP WAKTU. JIKA WAKTU SUDAH TERLALU SORE
ATAU TERLALU PAGI, JANGAN HARAP BISA MENYEBERANG DENGAN RAKIT. CONTOHNYA PARA SISWA SLTP
INI. AGAR TAK TERLAMBAT TIBA DI SEKOLAH, MEREKA SERINGKALI PERGI LEBIH AWAL. MENYEBERANG
TANPA RAKIT PUN MEREKA JALANI, YANG PENTING TETAP BISA MENGENYAM PENDIDIKAN.
TAK JARANG, SERAGAM ATAU BUKU YANG MEREKA SIMPAN DI DALAM TAS PUN IKUT BASAH. SEOLAH LELAH
DENGAN NASIB PULAU TERLUAR, TAK SEDIKIT PUN KELUH KESAH YANG MEREKA LONTARKAN.
MENYUSURI JALAN SETAPAK DESA, SAYA TIBA DI SEBUAH SUNGAI. SUNGAI ANDA ‘ARAN. TAK SEPERTI
KEBANYAKAN SUNGAI LAINNYA, SUNGAI ANDA ‘ARAN DI PENUHI OLEH IBU-IBU YANG SEDANG MENCARI
IKAN.TAK SEBERAPA MEMANG HASIL TANGKAPAN YANG DIDAPAT SELAMA BERJAM-JAM MENCARI IKAN DI
SUNGAI. TAPI BAGI MEREKA, HASIL YANG DIDAPAT BISA UNTUK MAKAN MALAM.

TERTINGGALNYA DESA-DESA YANG ADA DI KECAMATAN INI, MEBUAT SISTEM BARTER MASIH BERLAKU UNTUK
HAL-HAL TERTENTU. BEGITU JUGA DENGAN IBU-IBU PENCARI IKAN SUNGAI, MEREKA SERINGKALI MENUKAR
HASIL TANGKAPANNYA DENGAN KEBUTUHAN LAIN. SEKANTONG KECIL BERAS HANYA UNTUK MAKAN HARI INI.
SEPERTI HARAPAN YANG TAK TERLALU MULUK UNTUK MEREKA YANG TINGGAL DI PULAU TERLUAR. PULAU
YANG TERASA SEMAKIN JAUH DARI PELUKAN IBU PERTIWI.