Rabu, 30 Maret 2011

Ujung Negeri (Eps. Pulau Rupat)


Ujung Negeri
EPisode: Pulau Rupat

Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia. Sekurangnya 18.306 pulau terhampar dari Aceh hingga Papua. Dari banyak pulau itu, sebagian besar terserak di garis perbatasan. tentunya, menjadi beranda Indonesia bagi negara tetangga.

Pulau Rupat, salah satu beranda Indonesia yang terletak di gugusan dalam Kabupaten Bengkalis. Luas pulau ini hanya 1.500 km persegi, atau tiga kali lebih luas dari negara Singapura.

Menuju pulau terluar hanya bisa mengandalkan transportasi laut. Pelabuhan Sungai Duku menjadi titik perjalanan menuju Rupat.

Tak ada transportasi umum yang menyediakan jasa langsung menuju Rupat. Tim Ujung Negeri (Reporter: Nuray Rifat/ Camera Person: Ibnu Hartanto) harus transit lebih dulu di Bengkalis. Butuh waktu tiga jam perjalanan. Selama itu, sejumlah film Malaysia terus diputar. Rasa negeri jiran meruap dari kapal yang tim tumpangi.

Setelah menyusuri Sungai Siak, kapal merapat. Sambil menunggu keberangkatan kapal selanjutnya menuju Dumai, tim melihat kota Bengkalis.

Di Bengkalis, seperti terlempar di salah satu sudut kampung Malaysia. Perpaduan etnis Melayu dan Tionghoa menjadi bagian yang tak terceraikan. Kesan Malaysia begitu kental, penduduk berkomunikasi menggunakan bahasa Melayu Malaysia.Bengkalis menjadi surga pasar makanan dan minuman kaleng asal Malaysia.

Perjalanan dilanjutkan menuju Dumai. Satu setengah jam, tim tiba di pelabuhan Dumai dan meneruskan perjalanan menuju Rupat menggunakan perahu pompong. Dermaga Batupanjang, adalah dermaga sederhana sebagai pintu masuk Pulau Rupat.

Pulau Rupat terbagi menjadi dua kecamatan, Rupat dan Rupat Utara. Menelusuri pulau ini seperti pergi ke tanah asing. Suasana tradisional dan infrastruktur terbatas jadi potret keseharian.

Padahal jarak Rupat tak jauh dari kota industri Dumai. Tapi soal pembangunan, Rupat seperti tertinggal puluhan tahun. Jangan harap bisa berkeliling pulau ini menggunakan mobil. Lantaran banyak jalan yang patah dan ambrol.

Masyarakat Rupat menyandarkan kehidupan pada alam. Hampir  di setiap sudut, kebun sawit tumbuh menutup pandangan. Transportasi dan jarak yang jauh ke ibukota, menyebabkan mereka lebih memilih menjual hasil panen ke Malaysia. Belum lagi harga yang ditawarkan lebih tinggi.

Malam di Rupat gelap gulita. Listrik menjadi barang mewah. Penerangan hanya bisa dinikmati malam hari dengan  menggunakan mesin genset.

Perjalanan belum lengkap jika tak menjelajah ke Rupat  Utara, bagian pulau ini yang dekat dengan Malaysia. Jalan rusak dan berdebu jadi pemandangan selama perjalanan. Sepeda motor menjadi satu-satunya alat transportasi di sini.

Jalan yang rusak membuat perjalanan semakin panjang. Jangan harap bisa menemukan jembatan kokoh dari beton di pulau ini, yang ada hanya jembatan dari kayu yang sudah lapuk dimakan usia.

Mencapai Rupat Utara, tim harus menyeberangi sejumlah anak sungai. Begitulah masyarakat setiap harinya untuk mencapai Desa Pangkalan Nyirih, Selat Morong. Tak pernah selesai, begitulah masyarakat menyebut pembangunan jembatan di sungai kecil yang memisahkan dua wilayah ini.

Belum lama menyusuri jalan tanah, perjalanan tim harus terjeda. Untuk menyeberang ke Desa Kadur, penduduk harus mengeluarkan ongkos 1.000 per orang dan 5.000 untuk motor setiap hari.

Perjalanan panjang dan melelahkan, membawa saya sampai ke Rupat Utara. Pantai Panjang, seperti lukisan alam nan indah dengan pasir putihnya yang menghampar sejauh 13 kilometer.

Sayang, keindahan alamnya tersa sia-sia. Tak ada infrastruktur yang mendukung meski pantai ini layak dijadikan tempat tujuan wisata.

Tari Zapin Api, adalah tarian langka yang dipertunjukkan untuk menyambut kedatangan orang luar, termasuk tim Ujung Negeri. untuk bermalam di sini, tim menyewa rumah penduduk yang memang disewakan.

Keseharian masyarakat Rupat Utara adalah tayangan televisi asal Malaysia. Untuk menangkap siaran negeri jiran hanya butuh antena biasa, sementara untuk menangkap siaran negeri sendiri harus butuh biaya yang tinggi dengan memasang parabola.

Suasana berbeda, ketika tim tiba di perkampungan Tanjung Medang. Wilayah ini didominasi etnik Tionghoa. Altar sembahyang dan bendera leluhur terpasang di sudut halaman.

Masyarakat di sini kebanyak jadi penderas karet, atau budidaya sarang walet. Tapi sayang, semua hasilnya dibawa ke Malaysia. Pertimbangan jarak yang membuat itu terus berlangsung hingga sekarang.

Sepertinya, Malaysia lebih dikenal dibandingkan Indonesia bukan karena lebih makmur, tapi lebih pada kebutuhan hidup.

Di Teluk Rhu, tim menyambangi perkampungan nelayan. Banyak warga Rupat Utara di sini yang berkerabat dengan warga Malaysia seprofesi.

Kedekatan lokasi, tingginya aktivitas perdagangan antara warga Rupat Utara dan Malaysia, membuat alat tukar di sini banyak pilihan. Bisa Rupiah, bisa Ringgit.

Tim menemui hal yang unik di Rupat Utara, kebanyakan penduduk menggunakan kendaraan roda dua asal Malaysia.

Desa Titi Akar, berlokasi di jantung Pulau Rupat. Suku Akit, etnis pertama yang mendiami pulau ini. Perjalanan pun hanya bisa melalui jalur laut. Dermaga Titi Akar menyambut kedatangan saya dengan warna merah menyala.

Cin Buk Kiong, kelenteng paling tua di Provinsi Riau menjadi sejarah masuknya etnik Tionghoa di Rupat. Kelenteng ini dibangun dengan bahan bangunan dari negara tetangga. Genteng asal Malaysia dan batu bata asal Singapura. Ketergantungan yang tak akan pernah bisa  
lepas.

1 komentar:

  1. waaaa.... masih banyak tempat yang belum di singgahi tuh di pulau rupatnya.
    masih ada dua pantai lainnya yang tidak kalah cantik dari pada pantai tanjung medang.
    siapa bilang ke titiakar hanya bisa ditempuh dengan jalur laut? bisa dengan jalur darat kok. dengan melewati jalur darat kita bahkan lebih bisa melihat kehidupan masyarakat rupat dengan lebih dalam.
    ^-^ V

    BalasHapus