Senin (9/5) malam, seorang teman yang sedang bertugas meliput di Sulawesi Utara mengabarkan : "Tentara yang bertugas di gugusan Kepulauan Nanusa, Sulawesi Utara, diganti secara mendadak setelah ada kunjungan dari pejabat yang mengurusi soal pertahanan".
Dalam hati saya bertanya, apa penyebab mereka yang dengan gigih mengedepankan slogan "NKRI Harga Mati" diganti??
Mau tak mau, saya melanjutkan pembicaraan dengan teman tadi yang terputus. Bukan karena pulsanya habis, tapi karena saat itu dia berada di sebuah pulau yang letaknya paling Utara di wilayah Sulawesi Utara dan berbatasan langsung dengan negara Philipina.
Pertanyaan yang terlontar cuma satu dan to the point, Kenapa?? Keluarlah pernyataan yang cukup menggelitik, "Mereka (red-para tentara) diganti lantaran pernah melontarkan pernyataan "Di sini kalo kami melihat kapal-kapal asing masuk ke perairan Indonesia, kami tak bisa langsung menangkapnya. Karena tak setiap saat kami bisa melakukan patroli di sepanjang garis perbatasan. Harga BBM sangat tinggi di sini. Kalau kapal asing masuk, kita yang bertugas di sini patungan atau urunan untuk membeli BBM dan menangkap kapal itu". Pernyataan sang komandan satuan tugas pengamanan perbatasan itu pernah ditayangkan di sebuah televisi berbasis nasional.
Memang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama dalam konteks kedaulatan wilayah udara, laut dan darat menjadi tanggung jawab penuh TNI yang dalam keadaan tertentu dibantu Polri. Hal tersebut diatur dengan tegas dalam UUD 1945,Undang-undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-undang No.34 tahun 2004 tentang TNI, sedangkan untuk Polri dalam Undang-undang No.2 tahun 2002.
Tapi kita harus berkaca, apa yang dialami para tentara di perbatasan memang dilema. Kenyataan yang mau tak mau harus mereka jalani selama masa tugasnya. Di pulau terluar atau yang sekarang pulau terdepan (red-kata pemerintah), masyarakat harus hidup dengan beragam keterbatasan. Jaringan listrik, fasilitas air bersih, sekolah, jalan, kesehatan, dan seabreg pekerjaan rumah buat pemerintah daerah dan pusat. Tapi mereka tak pernah ambigu dengan republik ini?? Persoalan soal BBM memang sebenarnya masalah yang sangat sederhana, tapi akhirnya menjadi pelik. Kenapa?? Lantaran pasokannya menggantungkan pada ketersediaan sarana transportasi "kapal Pelni dan kapal perintis" yang melayani rute pulau-pulau di wilayah tersebut. Jangan harap setiap hari ada kapal yang menyambangi pulau. Dua kali dalam sebulan pun, sudah sangat disyukuri oleh masyarakat pulau. Itupun bisa saja tidak sama sekali merapat ke pulau, karena cuaca ekstrem yang menyebabkan ombak tinggi. Kalau sudah begitu, masyarakat hanya bisa berdo'a dan pasrah pada sang Khalik.
Harga BBM yang tinggilah penyebab mereka (red-para tentara penjaga perbatasan) tidak bisa melakukan patroli setiap saat. Jadi seharusnya para atasan dan pejabat tempat mereka bernaung sadar, kesalahan bukan 100 persen milik mereka yg bertugas. Para atasan dan pejabat sebenarnya juga ada andilnya, karena mereka tak mau menyuarakan persoalan-persoalan yang dihadapi anak buahnya selama bertugas kepada sang Panglima tertinggi.
Okelah, ada gurauan warung kopi "Kalau jadi tentara atau polisi tidak boleh cengeng atau mengeluh. Mereka sudah dididik untuk bisa bertahan dengan keterbatasan". Tapi mereka semua juga manusia, jadi wajar saja jika sesekali ada keluhan dan sebagainya.
Kalau kita mau jujur, seharusnya para petinggi, pejabat sampai pada titik yang paling tinggi ikut bertugas dan merasakan hidup di pulau terluar. Tapi jangan seperti kunjungan pejabat dan VVIP, semua serba mewah dan terkesan diada-adakan dalam waktu sekejap. Mereka harus ikut merasakan penderitaan bawahannya dan masyarakat. Jangan hanya bilang mereka yang di atas bisa merakyat.
Satu lagi yang membuat saya tak habis pikir, kenapa pergantian personil dilakukan setelah ada kunjungan mendadak dari pejabat yang mengurusi bidang pertahanan?? Apakah karena pejabat itu malu. Yang jelas mereka tak mau berkaca dari kenyataan.
Karena kebanyakan kunjungan yang dilakukan para pejabat ke pulau-pulau terluar hanya seperti ingin numpang membuang air kecil di sana. Datang dan kepulangan mereka tak lebih hanya dalam waktu beberapa jam saja. Itupun dengan ditunggu kapal-kapal besar. Padahal, kalau masyarakat biasa, tertinggal kapal berarti harus menunggu berbulan-bulan lagi untuk bisa keluar dari pulau.
Pesan masyarakat pulau kepada saya dalam sambungan teleponnya cuma sederhana, seperti kesederhanaan kehidupan mereka. Pembangunan yang dilakukan seharusnya mencerminkan kebutuhan masyarakat, jangan terjadi tumpang tindih.
Mereka tidak ambigu dengan republik ini, tapi mereka kecewa dengan janji-janji yang selalu diumbar ketika berkunjung. Banyak janji tinggal janji, tapi sampai detik ini mereka yang tinggal di batas negara terus diabaikan.
Salam Ujung Negeri
Dalam hati saya bertanya, apa penyebab mereka yang dengan gigih mengedepankan slogan "NKRI Harga Mati" diganti??
Mau tak mau, saya melanjutkan pembicaraan dengan teman tadi yang terputus. Bukan karena pulsanya habis, tapi karena saat itu dia berada di sebuah pulau yang letaknya paling Utara di wilayah Sulawesi Utara dan berbatasan langsung dengan negara Philipina.
Pertanyaan yang terlontar cuma satu dan to the point, Kenapa?? Keluarlah pernyataan yang cukup menggelitik, "Mereka (red-para tentara) diganti lantaran pernah melontarkan pernyataan "Di sini kalo kami melihat kapal-kapal asing masuk ke perairan Indonesia, kami tak bisa langsung menangkapnya. Karena tak setiap saat kami bisa melakukan patroli di sepanjang garis perbatasan. Harga BBM sangat tinggi di sini. Kalau kapal asing masuk, kita yang bertugas di sini patungan atau urunan untuk membeli BBM dan menangkap kapal itu". Pernyataan sang komandan satuan tugas pengamanan perbatasan itu pernah ditayangkan di sebuah televisi berbasis nasional.
Memang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama dalam konteks kedaulatan wilayah udara, laut dan darat menjadi tanggung jawab penuh TNI yang dalam keadaan tertentu dibantu Polri. Hal tersebut diatur dengan tegas dalam UUD 1945,Undang-undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-undang No.34 tahun 2004 tentang TNI, sedangkan untuk Polri dalam Undang-undang No.2 tahun 2002.
Tapi kita harus berkaca, apa yang dialami para tentara di perbatasan memang dilema. Kenyataan yang mau tak mau harus mereka jalani selama masa tugasnya. Di pulau terluar atau yang sekarang pulau terdepan (red-kata pemerintah), masyarakat harus hidup dengan beragam keterbatasan. Jaringan listrik, fasilitas air bersih, sekolah, jalan, kesehatan, dan seabreg pekerjaan rumah buat pemerintah daerah dan pusat. Tapi mereka tak pernah ambigu dengan republik ini?? Persoalan soal BBM memang sebenarnya masalah yang sangat sederhana, tapi akhirnya menjadi pelik. Kenapa?? Lantaran pasokannya menggantungkan pada ketersediaan sarana transportasi "kapal Pelni dan kapal perintis" yang melayani rute pulau-pulau di wilayah tersebut. Jangan harap setiap hari ada kapal yang menyambangi pulau. Dua kali dalam sebulan pun, sudah sangat disyukuri oleh masyarakat pulau. Itupun bisa saja tidak sama sekali merapat ke pulau, karena cuaca ekstrem yang menyebabkan ombak tinggi. Kalau sudah begitu, masyarakat hanya bisa berdo'a dan pasrah pada sang Khalik.
Harga BBM yang tinggilah penyebab mereka (red-para tentara penjaga perbatasan) tidak bisa melakukan patroli setiap saat. Jadi seharusnya para atasan dan pejabat tempat mereka bernaung sadar, kesalahan bukan 100 persen milik mereka yg bertugas. Para atasan dan pejabat sebenarnya juga ada andilnya, karena mereka tak mau menyuarakan persoalan-persoalan yang dihadapi anak buahnya selama bertugas kepada sang Panglima tertinggi.
Okelah, ada gurauan warung kopi "Kalau jadi tentara atau polisi tidak boleh cengeng atau mengeluh. Mereka sudah dididik untuk bisa bertahan dengan keterbatasan". Tapi mereka semua juga manusia, jadi wajar saja jika sesekali ada keluhan dan sebagainya.
Kalau kita mau jujur, seharusnya para petinggi, pejabat sampai pada titik yang paling tinggi ikut bertugas dan merasakan hidup di pulau terluar. Tapi jangan seperti kunjungan pejabat dan VVIP, semua serba mewah dan terkesan diada-adakan dalam waktu sekejap. Mereka harus ikut merasakan penderitaan bawahannya dan masyarakat. Jangan hanya bilang mereka yang di atas bisa merakyat.
Satu lagi yang membuat saya tak habis pikir, kenapa pergantian personil dilakukan setelah ada kunjungan mendadak dari pejabat yang mengurusi bidang pertahanan?? Apakah karena pejabat itu malu. Yang jelas mereka tak mau berkaca dari kenyataan.
Karena kebanyakan kunjungan yang dilakukan para pejabat ke pulau-pulau terluar hanya seperti ingin numpang membuang air kecil di sana. Datang dan kepulangan mereka tak lebih hanya dalam waktu beberapa jam saja. Itupun dengan ditunggu kapal-kapal besar. Padahal, kalau masyarakat biasa, tertinggal kapal berarti harus menunggu berbulan-bulan lagi untuk bisa keluar dari pulau.
Pesan masyarakat pulau kepada saya dalam sambungan teleponnya cuma sederhana, seperti kesederhanaan kehidupan mereka. Pembangunan yang dilakukan seharusnya mencerminkan kebutuhan masyarakat, jangan terjadi tumpang tindih.
Mereka tidak ambigu dengan republik ini, tapi mereka kecewa dengan janji-janji yang selalu diumbar ketika berkunjung. Banyak janji tinggal janji, tapi sampai detik ini mereka yang tinggal di batas negara terus diabaikan.
Salam Ujung Negeri