11 Maret media-media asing ramai memberitakan kejadian gempa yang menimbulkan efek tsunami di Jepang. Tentunya seluruh dunia ikut berbelasungkawa "Pray for Japan". Sedih memang melihat banyaknya jatuh korban jiwa di negara yang memiliki kesiapan lebih dalam mengantisipasi bencana tersebut.
Belum lagi kabar yang dilepaskan badan pemantauan bencana menyebutkan, efek tsunami akan sampai di seluruh negara yang ada di Samudera Pasifik. Pikiran saya langsung tertuju pada sahabat-sahabat saya yang sedang menjalankan rutinitas tugas di Kepulauan Mapia, Supiori, Papua.
Belum sempat berpikir, deringan telepon, pesan dari atasan sahabat-sahabat saya itu terus berdatangan. Mereka ingin mendapatkan kabar langsung dari yang jauh di kepulauan. Memang terkadang, ketika ada kejadian yang bisa membahayakan keselamatan jiwa seseorang, kita selalu berpikir instan. Perlu diingat, Indonesia memiliki lebih dari 18 ribu pulau-pulau kecil yang sebagian ada di garis depan negara. Dari sekian banyak pulau itu, hanya ada beberapa pulau yang bisa mengakses sarana telekomunikasi. Itupun bisa dihitung dengan jari.
Memang sebelum pergi bertugas, sahabat saya memberitahu bahwa akses telekomunikasi di kepulauan yang berbatasan langsung dengan negara kepulauan Palau ini benar-benar tidak ada. Saya makin terjepit dengan perasaan cemas.
Bagaimana ini?? Andaikan di awal keberangkatan mereka dibekali telepon satelit. Hanya dengan itu mereka mungkin bisa langsung menghubungi orang-orang di kantor atau bahkan keluarga mereka yang berharap cemas menanti kabar. Tapi nyatanya, birokrasi dan administrasi membuat segala keperluan utama itu terabaikan. Apa mau dikata, toh mereka tetap harus berangkat menjalankan tugas.
Cemas. Satu sisi yang sepertinya akan terus menghantui saya sebagai sahabat. Saya mencoba menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Masa sih, diantara ketiga pulau yang ada di gugusan Kepulauan Mapia tak ada sarana komunikasi yang bisa mengabarkan keadaan pulau itu kepada dunia luar.
Tangan terus bergerak, membuka kontak di telepon genggam. Satu hingga tiga nomor sahabat di Papua saya hubungi, mereka bilang "berdoa saja semoga mereka selamat". Ucapan itu bukan tanpa alasan, karena memang tak ada sarana komunikasi di sana. Aduh..munculah perasaan bersalah pada diri saya, kalau terjadi hal yang tidak kita inginkan pada sahabat-sahabat saya. Di tengah rasa cemas dan galau yang bercampur, datang sebuah pesan "coba hubungi nomor ini, dia salah satu perwira Marinir di Lantamal Biak. Mungkin dari dia, kita bisa tahu kabar sahabatmu di sana". Semua indera di tubuh sepertinya tertuju pada nomor yang ada di pesan singkat.
Dua tiga kali dihubungi tak juga tersambung. Sampai akhirnya ada suara hallo di seberang telepon. Sang perwira bilang, semua keadaan sahabat dan masyarakat baik-baik saja. Alhamdulillah, jawabannya yang menuntaskan cemas saya.
Tapi bukannya senang, saya malah jadi bingung, bagaimana sang perwira bisa mendapatkan kabar secepat itu??
Usut punya usut, dia menjelaskan panjang lebar soal teman-temannya sebagai prajurit yang sedang mengabdi di pulau terluar. Mereka yang tergabung dalam Satgaspam Puter (red-satuan tugas pengamanan pulau terluar) 9 ini memiliki teknologi yang sudah mulai ditinggalkan jaman. Apa?? Radio Single Side Band. Radio berbasis satelit inilah yang bisa membawa pesan ke dunia luar.
Suka duka selama bertugas di pulau terluar dicurahkan. Kalau kangen dengan keluarga, biasanya para prajurit menggunakan radio ini. Mereka meminta teman yang bertugas di Lantamal Biak menghubungi nomor telepon keluarga. Komunikasi dan kerinduan pun bisa dituntaskan hari itu juga. Tapi itu tidak bisa dilakukan setiap hari, ada waktu tertentu dan tergantung faktor cuaca. Karena hujan seringkali menghambat proses komunikasi.
Bukan hanya itu, ketika pasokan bahan makanan habis dan kapal perintis yang hanya menyambangi pulau ini dua kali dalam sebulan gagal berlayar karena ombak, bukan tak mungkin mereka harus mencari pengganti makanan. Berada di pulau memang memudahkan mencari makanan, ikan berlimpah di sini. Tapi untuk mencari pengganti nasi?? Asupan karbohidrat bisa didapat dari boraks, sejenis tanaman talas yang beracun. Biasa tumbuh di hutan-hutan kepulauan wilayah Papua. Tak hanya itu, ada juga sukun. Cara memasak keduanya sama, dengan cara dikukus atau goreng.
Di Mapia, kesehatan hanya ada satu bulan sekali selama empat jam. Dokter dari kota diterjunkan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Gelap sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Jenjang pendidikan hanya ada sampai sekolah menengah pertama, dengan jumlah guru terbatas. Belum lagi belakangan, sumber mata pencaharian mereka sebagai petani kopra terancam. Pohon kelapa mulai banyak yang mati terserang hama. Tapi mereka tetap cinta dengan Indonesia.
Keluh kesah itu tak selesai selama satu hari penuh. Hari berikutnya, sang perwira bilang NKRI adalah harga mati. Dan terakhir kabarnya, tsunami hanya 10 cm di sana.
Kabar yang berhembus bersama alunan musik khas Papua yang mengiringi tarian Yospan.
Salam Ujung Negeri
Belum lagi kabar yang dilepaskan badan pemantauan bencana menyebutkan, efek tsunami akan sampai di seluruh negara yang ada di Samudera Pasifik. Pikiran saya langsung tertuju pada sahabat-sahabat saya yang sedang menjalankan rutinitas tugas di Kepulauan Mapia, Supiori, Papua.
Belum sempat berpikir, deringan telepon, pesan dari atasan sahabat-sahabat saya itu terus berdatangan. Mereka ingin mendapatkan kabar langsung dari yang jauh di kepulauan. Memang terkadang, ketika ada kejadian yang bisa membahayakan keselamatan jiwa seseorang, kita selalu berpikir instan. Perlu diingat, Indonesia memiliki lebih dari 18 ribu pulau-pulau kecil yang sebagian ada di garis depan negara. Dari sekian banyak pulau itu, hanya ada beberapa pulau yang bisa mengakses sarana telekomunikasi. Itupun bisa dihitung dengan jari.
Memang sebelum pergi bertugas, sahabat saya memberitahu bahwa akses telekomunikasi di kepulauan yang berbatasan langsung dengan negara kepulauan Palau ini benar-benar tidak ada. Saya makin terjepit dengan perasaan cemas.
Bagaimana ini?? Andaikan di awal keberangkatan mereka dibekali telepon satelit. Hanya dengan itu mereka mungkin bisa langsung menghubungi orang-orang di kantor atau bahkan keluarga mereka yang berharap cemas menanti kabar. Tapi nyatanya, birokrasi dan administrasi membuat segala keperluan utama itu terabaikan. Apa mau dikata, toh mereka tetap harus berangkat menjalankan tugas.
Cemas. Satu sisi yang sepertinya akan terus menghantui saya sebagai sahabat. Saya mencoba menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Masa sih, diantara ketiga pulau yang ada di gugusan Kepulauan Mapia tak ada sarana komunikasi yang bisa mengabarkan keadaan pulau itu kepada dunia luar.
Tangan terus bergerak, membuka kontak di telepon genggam. Satu hingga tiga nomor sahabat di Papua saya hubungi, mereka bilang "berdoa saja semoga mereka selamat". Ucapan itu bukan tanpa alasan, karena memang tak ada sarana komunikasi di sana. Aduh..munculah perasaan bersalah pada diri saya, kalau terjadi hal yang tidak kita inginkan pada sahabat-sahabat saya. Di tengah rasa cemas dan galau yang bercampur, datang sebuah pesan "coba hubungi nomor ini, dia salah satu perwira Marinir di Lantamal Biak. Mungkin dari dia, kita bisa tahu kabar sahabatmu di sana". Semua indera di tubuh sepertinya tertuju pada nomor yang ada di pesan singkat.
Dua tiga kali dihubungi tak juga tersambung. Sampai akhirnya ada suara hallo di seberang telepon. Sang perwira bilang, semua keadaan sahabat dan masyarakat baik-baik saja. Alhamdulillah, jawabannya yang menuntaskan cemas saya.
Tapi bukannya senang, saya malah jadi bingung, bagaimana sang perwira bisa mendapatkan kabar secepat itu??
Usut punya usut, dia menjelaskan panjang lebar soal teman-temannya sebagai prajurit yang sedang mengabdi di pulau terluar. Mereka yang tergabung dalam Satgaspam Puter (red-satuan tugas pengamanan pulau terluar) 9 ini memiliki teknologi yang sudah mulai ditinggalkan jaman. Apa?? Radio Single Side Band. Radio berbasis satelit inilah yang bisa membawa pesan ke dunia luar.
Suka duka selama bertugas di pulau terluar dicurahkan. Kalau kangen dengan keluarga, biasanya para prajurit menggunakan radio ini. Mereka meminta teman yang bertugas di Lantamal Biak menghubungi nomor telepon keluarga. Komunikasi dan kerinduan pun bisa dituntaskan hari itu juga. Tapi itu tidak bisa dilakukan setiap hari, ada waktu tertentu dan tergantung faktor cuaca. Karena hujan seringkali menghambat proses komunikasi.
Bukan hanya itu, ketika pasokan bahan makanan habis dan kapal perintis yang hanya menyambangi pulau ini dua kali dalam sebulan gagal berlayar karena ombak, bukan tak mungkin mereka harus mencari pengganti makanan. Berada di pulau memang memudahkan mencari makanan, ikan berlimpah di sini. Tapi untuk mencari pengganti nasi?? Asupan karbohidrat bisa didapat dari boraks, sejenis tanaman talas yang beracun. Biasa tumbuh di hutan-hutan kepulauan wilayah Papua. Tak hanya itu, ada juga sukun. Cara memasak keduanya sama, dengan cara dikukus atau goreng.
Di Mapia, kesehatan hanya ada satu bulan sekali selama empat jam. Dokter dari kota diterjunkan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Gelap sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Jenjang pendidikan hanya ada sampai sekolah menengah pertama, dengan jumlah guru terbatas. Belum lagi belakangan, sumber mata pencaharian mereka sebagai petani kopra terancam. Pohon kelapa mulai banyak yang mati terserang hama. Tapi mereka tetap cinta dengan Indonesia.
Keluh kesah itu tak selesai selama satu hari penuh. Hari berikutnya, sang perwira bilang NKRI adalah harga mati. Dan terakhir kabarnya, tsunami hanya 10 cm di sana.
Kabar yang berhembus bersama alunan musik khas Papua yang mengiringi tarian Yospan.
Salam Ujung Negeri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar