Wilayah Selatan Kabupaten Belu, NTT, merupakan daerah rawan longsor, banjir. Ketika bencana itu datang, banyak jalan menuju ke Selatan yang terputus, tak heran jika wilayah ini menjadi terisolir.
Kecamatan Kobalima, merupakan salah satu contohnya. Untuk mencapai wilayah ini kita harus menemui jalan yang terputus, tapi untungnya masyarakat membangun jalur alternatif seadanya. Di tengah keterisoliran Kobalima, ada cerita menarik yang bisa kita teladani.
Dokter Delia F, lulusan sebuah universitas di Jakarta ini melakukan pengabdian kerja di puskesmas Namfalus, wilayah yang berbatasan dengan Timor Leste.
Pengalaman sebagai dokter di wilayah perbatasan tidaklah mudah, ketika pertama datang ke sini, ia sudah dihadapkan dengan persediaan obat yang kosong. Sementara puskesmas ini menjadi andalan bagi desa-desa di dekat Namfalus. Puskesmasnya memang terbilang sederhana, tapi memiliki ruang rawat inap pasien.
Kesehatan menjadi barang tabu di sini, tak mudah mengubah perilaku masyarakat yang masih percaya dengan hal-hal di luar medis. Dari pengalaman sang dokter tertutur, pernah ada pasien anak balita yang menderita penyakit kuning. Setelah diperiksa, kondisinya tak memungkinkan untuk dirawat di puskesmas. Pasien harus dirujuk ke rumah sakit di Atambua. Tapi orang tuanya menolak, dengan alasan menurut tetua kami ini disebut horaks "gak boleh diobati, gak boleh disuntik, dll. Hanya boleh disembur-sembur". Berdasarkan logika, mau disembur bagaimanapun, kondisi sang anak akan semakin parah dan bisa menyebabkan kematian. Akhirnya dokter bersama perawat membujuk orang yang dituakan dalam keluarga itu. Barulah pasien boleh dibawa ke rumah sakit. Fenomena ini masih terus terjadi hingga kemajuan teknologi seperti sekarang.
Belum lagi angka kematian ibu dan bayi yang tinggi di wilayah selatan. Banyak masyarakat yang tinggal di dekat puskesmas, enggan melahirkan dengan bantuan medis. Seperti yang terjadi bayi maria, sang ibu baru meminta bantuan medis ketika tali pusar bayi tak mau lepas. Padahal jarak rumah ke puskesmas hanya 500 meter. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, kandungan ibunya sudah turun. Bayi dan sang ibu pun harus dirujuk ke atambua. Perjalanan menggunakan ambulance puskesmas mengalami banyak gangguan. Karena jalan yang dilalui banyak yang terputus, apalagi wilayah selatan sering diguyur hujan. Kejadian melahirkan di rumah sendiri menjadi hal yang biasa di Namfalus dan sekitarnya.
Setiap hari Kamis, adalah hari besar bagi masyarakat Alas, yang berada di atas perbukitan. Bagi dokter, ia harus menyambangi puskesmas Alas untuk melakukan praktek. Biasanya bisa puluhan orang rela antri berobat yang hanya dilakukan sekali tiap minggunya, kecuali ada panggilan darurat. Menggunakan sepeda motor bantuan pemerintah, dokter membelah jalan tanah dan hutan menuju desa Alas. Sampai di sana, ia langsung mengobati seorang ibu yang mengalami luka di kaki. Setelah berkonsultasi, pasien ternyata mengobati lukanya yang gatal dengan cara dibakar. Kaget jelas dokter mendengarnya, dari mulutnya terucap "kenapa gak ditambahin bawang, cabe, sekalian dimasak". Dibakar menggunakan api dari kayu bakar jelas membuat luka itu makin menjadi, bisa-bisa malah infeksi. Akhirnya luka dibersihkan dan kemudian diberi salep. Tak lupa dibungkus perban untuk menghindari kontak dengan debu. Beginilah pasien di desa Alas, lebih terkebelakang dibandingkan desa Namfalus.
Bagi masyarakat yang tinggal di pegunungan, mereka tidak yakin Indonesia sudah merdeka. Kenapa?? Karena sampai saat ini untuk kesehatan dan sekolah pun sangat susah.
Sekolah di Kobaliman, hanya ada SD dan SMP Katolik. Itupun dengan segala keterbatasan. Bangunannya sudah tak layak untuk kegiatan belajar-mengajar. Tak ada buku penunjang, mau maju berawal dari guru. Karena hanya guru yang memegang buku penunjang mata pelajaran. Mereka harus rajin mencatat. Komputer tidak bisa dinyalakan, karena listrik belum menjangkau kawasan ini. Pemerintah hanya membantu menyediakan mesin genset, sekolah harus keluar biaya banyak untuk BBM, lantaran sekolah dilakukan hingga jam 9 malam. Selain itu, bantuan buku bukannya buku penunjang. Tapi buku cerita yang terkait mata pelajaran. Sungguh menyedihkan?? Jangan heran kalau sumber daya manusia (red-SDM) di wilayah Selatan sangat terbelakang.
Untuk air bersih pun mereka harus mengambil puluhan kilometer. Itupun digunakan untuk masyarakat desa.
Tugas di perbatasan memang berat. Dokter Delia pun pernah merasakan hopeless, tapi kalau dia begitu bagaimana bisa menangani pasien. Semua dokter hanya bisa berharap, agar semua masyarakat sehat. Caranya?? Setiap minggu, ia pun melakukan penyuluhan tentang bagaimana pentingnya menjaga kesehatan ke masyarakat. Supaya kesehatan tidak tabu bagi mereka...
Salam Ujung Negeri
Kecamatan Kobalima, merupakan salah satu contohnya. Untuk mencapai wilayah ini kita harus menemui jalan yang terputus, tapi untungnya masyarakat membangun jalur alternatif seadanya. Di tengah keterisoliran Kobalima, ada cerita menarik yang bisa kita teladani.
Dokter Delia F, lulusan sebuah universitas di Jakarta ini melakukan pengabdian kerja di puskesmas Namfalus, wilayah yang berbatasan dengan Timor Leste.
Pengalaman sebagai dokter di wilayah perbatasan tidaklah mudah, ketika pertama datang ke sini, ia sudah dihadapkan dengan persediaan obat yang kosong. Sementara puskesmas ini menjadi andalan bagi desa-desa di dekat Namfalus. Puskesmasnya memang terbilang sederhana, tapi memiliki ruang rawat inap pasien.
Kesehatan menjadi barang tabu di sini, tak mudah mengubah perilaku masyarakat yang masih percaya dengan hal-hal di luar medis. Dari pengalaman sang dokter tertutur, pernah ada pasien anak balita yang menderita penyakit kuning. Setelah diperiksa, kondisinya tak memungkinkan untuk dirawat di puskesmas. Pasien harus dirujuk ke rumah sakit di Atambua. Tapi orang tuanya menolak, dengan alasan menurut tetua kami ini disebut horaks "gak boleh diobati, gak boleh disuntik, dll. Hanya boleh disembur-sembur". Berdasarkan logika, mau disembur bagaimanapun, kondisi sang anak akan semakin parah dan bisa menyebabkan kematian. Akhirnya dokter bersama perawat membujuk orang yang dituakan dalam keluarga itu. Barulah pasien boleh dibawa ke rumah sakit. Fenomena ini masih terus terjadi hingga kemajuan teknologi seperti sekarang.
Belum lagi angka kematian ibu dan bayi yang tinggi di wilayah selatan. Banyak masyarakat yang tinggal di dekat puskesmas, enggan melahirkan dengan bantuan medis. Seperti yang terjadi bayi maria, sang ibu baru meminta bantuan medis ketika tali pusar bayi tak mau lepas. Padahal jarak rumah ke puskesmas hanya 500 meter. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, kandungan ibunya sudah turun. Bayi dan sang ibu pun harus dirujuk ke atambua. Perjalanan menggunakan ambulance puskesmas mengalami banyak gangguan. Karena jalan yang dilalui banyak yang terputus, apalagi wilayah selatan sering diguyur hujan. Kejadian melahirkan di rumah sendiri menjadi hal yang biasa di Namfalus dan sekitarnya.
Setiap hari Kamis, adalah hari besar bagi masyarakat Alas, yang berada di atas perbukitan. Bagi dokter, ia harus menyambangi puskesmas Alas untuk melakukan praktek. Biasanya bisa puluhan orang rela antri berobat yang hanya dilakukan sekali tiap minggunya, kecuali ada panggilan darurat. Menggunakan sepeda motor bantuan pemerintah, dokter membelah jalan tanah dan hutan menuju desa Alas. Sampai di sana, ia langsung mengobati seorang ibu yang mengalami luka di kaki. Setelah berkonsultasi, pasien ternyata mengobati lukanya yang gatal dengan cara dibakar. Kaget jelas dokter mendengarnya, dari mulutnya terucap "kenapa gak ditambahin bawang, cabe, sekalian dimasak". Dibakar menggunakan api dari kayu bakar jelas membuat luka itu makin menjadi, bisa-bisa malah infeksi. Akhirnya luka dibersihkan dan kemudian diberi salep. Tak lupa dibungkus perban untuk menghindari kontak dengan debu. Beginilah pasien di desa Alas, lebih terkebelakang dibandingkan desa Namfalus.
Bagi masyarakat yang tinggal di pegunungan, mereka tidak yakin Indonesia sudah merdeka. Kenapa?? Karena sampai saat ini untuk kesehatan dan sekolah pun sangat susah.
Sekolah di Kobaliman, hanya ada SD dan SMP Katolik. Itupun dengan segala keterbatasan. Bangunannya sudah tak layak untuk kegiatan belajar-mengajar. Tak ada buku penunjang, mau maju berawal dari guru. Karena hanya guru yang memegang buku penunjang mata pelajaran. Mereka harus rajin mencatat. Komputer tidak bisa dinyalakan, karena listrik belum menjangkau kawasan ini. Pemerintah hanya membantu menyediakan mesin genset, sekolah harus keluar biaya banyak untuk BBM, lantaran sekolah dilakukan hingga jam 9 malam. Selain itu, bantuan buku bukannya buku penunjang. Tapi buku cerita yang terkait mata pelajaran. Sungguh menyedihkan?? Jangan heran kalau sumber daya manusia (red-SDM) di wilayah Selatan sangat terbelakang.
Untuk air bersih pun mereka harus mengambil puluhan kilometer. Itupun digunakan untuk masyarakat desa.
Tugas di perbatasan memang berat. Dokter Delia pun pernah merasakan hopeless, tapi kalau dia begitu bagaimana bisa menangani pasien. Semua dokter hanya bisa berharap, agar semua masyarakat sehat. Caranya?? Setiap minggu, ia pun melakukan penyuluhan tentang bagaimana pentingnya menjaga kesehatan ke masyarakat. Supaya kesehatan tidak tabu bagi mereka...
Salam Ujung Negeri
Terimakasih,,, sudah melakuakan yang terbaik, buat anak bangsa,,
BalasHapus