Awal tahun 2000, saya dan sahabat sewaktu bekerja di sebuah surat kabar terbitan Surabaya berencana mengadakan perjalanan ke sebuah pulau yang hanya berjarak setengah jam dari kota industri Dumai.
Tapi kami berdua sepakat untuk berangkat dari kota Pekanbaru. Usai kumandang adzan subuh, kami berangkat menuju bandara Soetta. Karena jadwal keberangkatan maskapai yang ditumpangi pukul 06.15 wib.
Seperti biasa, setelah melengkapi administrasi untuk penerbangan, kami menunggu di ruang tunggu bandara. Baru sekali menyeruput coklat panas pembelian di sebuah toko cepat saji, terdengar sayup-sayup suara "Permohonan maaf dari sebuah maskapai penerbangan. Penerbangan menuju Pekanbaru tertunda 30 menit". Kanan-kiri kami mulai gelisah, karena mereka mungkin telah lama menunggu di sini. Tapi yang nama negeri ini soal "jam karet" sudah tak asing lagi.
Setelah menunggu, pesawat akhirnya boleh dinaiki, dan mendarat mulus di kota tujuan.
Pekanbaru sudah lebih maju dan pagi di sini seperti di Jakarta. Macet..macet. Sebuah resiko yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk perkembangan kota. Langkah kaki kami menuju pelabuhan untuk menumpang speedboat menuju kota Bengkalis lanjut Dumai. Perjalanan yang cukup melelahkan, namun tidak terasa karena pemandangan di sepanjang sungai yang disajikan cukup indah. Sampai di Dumai, kami menyewa perahu otok-otok nelayan untuk diantar ke pulau Rupat.
Pulau Rupat yang terbelah menjadi dua kecamatan ini (red-Kec.Rupat dan Kec.Rupat Utara) menyambut kami dengan dermaga kayu yang tak pernah berubah sejak kami datang beberapa tahun lalu. Berkeliling pulau, jangan berharap kita bisa mengendarai mobil. Jalan yang ada banyak yang berlubang dan putus. Itu pun tidak di semua kampung ada jalan.
Rupat benar-benar mengandalkan alam. Pagi hingga sore penerangan dari matahari. Beranjak malam, Rupat gelap gulita. Bagi masyarakat yang punya uang, mereka bisa menikmati cahaya lampu redup dari mesin genset. Dan itu cuma untuk lima jam lamanya. Cerita klasik bangsa ini yang tak pernah selesai.
Beranjak pagi, kami berkeliling kampung melihat Rupat yang sesungguhnya. Masyarakat menanam kelapa sawit, hasilnya bukan untuk Indonesia. Karena jarak dan biaya menuju ibukota Provinsi yang mahal, kelapa sawit dijual ke Malaysia. Tak heran, banyak barang-barang asal Malaysia yang beredar, termasuk sepeda motor.
Omongan Gubernur Kepri memang tak salah "Bagaimana anak-anak pulau mau maju, kalo buat listrik aja kita tak bisa memenuhi". Anak-anak di pulau Rupat hanya bisa bersekolah, tapi tanpa didukung fasilitas pendidikan yang maju seperti di kota besar. Di kota besar, anak sekolah sudah terbiasa menggunakan komputer, notebook, laptop, bahkan Ipad. Di Rupat, semuanya menjadi mustahil.
Mereka tak memikirkan teknologi. Untuk sekolah saja mereka harus berjuang melewati sungai-sungai tanpa jembatan menuju tempat mereka menimba ilmu. Pergi dan pulang sekolah harus mengeluarkan uang hampir 10 ribu rupiah hanya untuk naik rakit. Tapi mereka tak kecil hati, mereka haus akan ilmu.
Belum puas menikmati Rupat, kami disodorkan cerita keindahan alam di Rupat Utara, bagian lain pulau ini. Menuju ke sana butuh perjuangan, delapan jam kita berkendara sepeda motor melewati jalan becek dan berdebu. Ternyata kondisi jalan, lebih parah dibandingkan Kec.Rupat. Tapi semua itu terbayar oleh keindahan pantainya. Pasir putih seperti kristal terkena pantulan sinar matahari senja. Kedatangan kami langsung disambut warga Rupat Utara dengan tarian Zapin Api. Tarian yang sudah jarang diperagakan.
Rupat Utara memang didominasi oleh pendatang Tionghoa. Merekalah asal muasal penduduk pulau Rupat. Di sepanjang rumah, kami bisa melihat altar sembahyang dan bendera leluhur. Bau dupa menyergap hidung. Masyarakat di sini berkebun karet dan sarang walet. Panennya dibawa ke negeri jiran yang hanya dua jam memakai perahu, dibanding ke ibukota Provinsi yang memakan waktu 6 jam. Barang dan perputaran bisnis kental dengan Malay. Kita bisa menggunakan ringgit.
Sementara di ujungnya ada desa Teluk Rhu, tempat nelayan pulau ini. Mereka sebagian besar berasal dari Malay. Tak heran banyak yang fasih menggunakan bahasa Melayu sana. Kehidupan nelayan sangat miskin, banyak anak-anak yang tak bisa sekolah karena ekonomi orang tua mereka tak cukup. Ngobrol dengan seorang nelayan "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri seberang". Ternyata biar tak diperhatikan pemerintah, mereka lebih cinta Indonesia.
Penggarapan aspek pariwisata di Rupat sangatlah potensial. Mereka punya pantai, matahari, dan budaya leluhur yang masih terjaga kelestariannya. Tapi pemerintah kita menutup mata. Pariwisata Rupat pernah diklaim Malay. Rupat hanya butuh pembangunan jalan, penginapan dan tentunya sarana transportasi untuk mencapai pulau ini untuk dipromosikan.
Budaya leluhur bisa dilihat di desa Titi Akar. Mayoritas orang Akit tinggal di sini. Kedatangan perahu disambut oleh kelenteng berwarna merah. Kelenteng paling tua di Provinsi Riau. Kelenteng ini dibangun dengan bahan material yang didatangkan langsung dari Malay dan Singapura. Untuk keramik asli made in Cina.
Siaran televisi dan radio yang mudah dijangkau milik pemerintah Malay. Tak heran mereka lebih kenal. Mahathir dibanding SBY. Itulah kenyataan yang harus kita perbaiki.
Rupat adalah bagian Indonesia, tapi Rupat lebih kental dengan rasa Malaysia.
Salam Ujung Negeri
Tapi kami berdua sepakat untuk berangkat dari kota Pekanbaru. Usai kumandang adzan subuh, kami berangkat menuju bandara Soetta. Karena jadwal keberangkatan maskapai yang ditumpangi pukul 06.15 wib.
Seperti biasa, setelah melengkapi administrasi untuk penerbangan, kami menunggu di ruang tunggu bandara. Baru sekali menyeruput coklat panas pembelian di sebuah toko cepat saji, terdengar sayup-sayup suara "Permohonan maaf dari sebuah maskapai penerbangan. Penerbangan menuju Pekanbaru tertunda 30 menit". Kanan-kiri kami mulai gelisah, karena mereka mungkin telah lama menunggu di sini. Tapi yang nama negeri ini soal "jam karet" sudah tak asing lagi.
Setelah menunggu, pesawat akhirnya boleh dinaiki, dan mendarat mulus di kota tujuan.
Pekanbaru sudah lebih maju dan pagi di sini seperti di Jakarta. Macet..macet. Sebuah resiko yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk perkembangan kota. Langkah kaki kami menuju pelabuhan untuk menumpang speedboat menuju kota Bengkalis lanjut Dumai. Perjalanan yang cukup melelahkan, namun tidak terasa karena pemandangan di sepanjang sungai yang disajikan cukup indah. Sampai di Dumai, kami menyewa perahu otok-otok nelayan untuk diantar ke pulau Rupat.
Pulau Rupat yang terbelah menjadi dua kecamatan ini (red-Kec.Rupat dan Kec.Rupat Utara) menyambut kami dengan dermaga kayu yang tak pernah berubah sejak kami datang beberapa tahun lalu. Berkeliling pulau, jangan berharap kita bisa mengendarai mobil. Jalan yang ada banyak yang berlubang dan putus. Itu pun tidak di semua kampung ada jalan.
Rupat benar-benar mengandalkan alam. Pagi hingga sore penerangan dari matahari. Beranjak malam, Rupat gelap gulita. Bagi masyarakat yang punya uang, mereka bisa menikmati cahaya lampu redup dari mesin genset. Dan itu cuma untuk lima jam lamanya. Cerita klasik bangsa ini yang tak pernah selesai.
Beranjak pagi, kami berkeliling kampung melihat Rupat yang sesungguhnya. Masyarakat menanam kelapa sawit, hasilnya bukan untuk Indonesia. Karena jarak dan biaya menuju ibukota Provinsi yang mahal, kelapa sawit dijual ke Malaysia. Tak heran, banyak barang-barang asal Malaysia yang beredar, termasuk sepeda motor.
Omongan Gubernur Kepri memang tak salah "Bagaimana anak-anak pulau mau maju, kalo buat listrik aja kita tak bisa memenuhi". Anak-anak di pulau Rupat hanya bisa bersekolah, tapi tanpa didukung fasilitas pendidikan yang maju seperti di kota besar. Di kota besar, anak sekolah sudah terbiasa menggunakan komputer, notebook, laptop, bahkan Ipad. Di Rupat, semuanya menjadi mustahil.
Mereka tak memikirkan teknologi. Untuk sekolah saja mereka harus berjuang melewati sungai-sungai tanpa jembatan menuju tempat mereka menimba ilmu. Pergi dan pulang sekolah harus mengeluarkan uang hampir 10 ribu rupiah hanya untuk naik rakit. Tapi mereka tak kecil hati, mereka haus akan ilmu.
Belum puas menikmati Rupat, kami disodorkan cerita keindahan alam di Rupat Utara, bagian lain pulau ini. Menuju ke sana butuh perjuangan, delapan jam kita berkendara sepeda motor melewati jalan becek dan berdebu. Ternyata kondisi jalan, lebih parah dibandingkan Kec.Rupat. Tapi semua itu terbayar oleh keindahan pantainya. Pasir putih seperti kristal terkena pantulan sinar matahari senja. Kedatangan kami langsung disambut warga Rupat Utara dengan tarian Zapin Api. Tarian yang sudah jarang diperagakan.
Rupat Utara memang didominasi oleh pendatang Tionghoa. Merekalah asal muasal penduduk pulau Rupat. Di sepanjang rumah, kami bisa melihat altar sembahyang dan bendera leluhur. Bau dupa menyergap hidung. Masyarakat di sini berkebun karet dan sarang walet. Panennya dibawa ke negeri jiran yang hanya dua jam memakai perahu, dibanding ke ibukota Provinsi yang memakan waktu 6 jam. Barang dan perputaran bisnis kental dengan Malay. Kita bisa menggunakan ringgit.
Sementara di ujungnya ada desa Teluk Rhu, tempat nelayan pulau ini. Mereka sebagian besar berasal dari Malay. Tak heran banyak yang fasih menggunakan bahasa Melayu sana. Kehidupan nelayan sangat miskin, banyak anak-anak yang tak bisa sekolah karena ekonomi orang tua mereka tak cukup. Ngobrol dengan seorang nelayan "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri seberang". Ternyata biar tak diperhatikan pemerintah, mereka lebih cinta Indonesia.
Penggarapan aspek pariwisata di Rupat sangatlah potensial. Mereka punya pantai, matahari, dan budaya leluhur yang masih terjaga kelestariannya. Tapi pemerintah kita menutup mata. Pariwisata Rupat pernah diklaim Malay. Rupat hanya butuh pembangunan jalan, penginapan dan tentunya sarana transportasi untuk mencapai pulau ini untuk dipromosikan.
Budaya leluhur bisa dilihat di desa Titi Akar. Mayoritas orang Akit tinggal di sini. Kedatangan perahu disambut oleh kelenteng berwarna merah. Kelenteng paling tua di Provinsi Riau. Kelenteng ini dibangun dengan bahan material yang didatangkan langsung dari Malay dan Singapura. Untuk keramik asli made in Cina.
Siaran televisi dan radio yang mudah dijangkau milik pemerintah Malay. Tak heran mereka lebih kenal. Mahathir dibanding SBY. Itulah kenyataan yang harus kita perbaiki.
Rupat adalah bagian Indonesia, tapi Rupat lebih kental dengan rasa Malaysia.
Salam Ujung Negeri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar