Selasa, 24 Mei 2011

Komunikasi di Bawah Piringan Pemancar Satelit

Hallo..hallo..tiba-tiba ada suara dung..dung..dibarengi suara teman kerja saya di ujung telepon. Pembicaraan hari itu tidak bisa diterima dengan jernih oleh saya. Maklum saja, yang menelepon sedang berada di wilayah pulau terluar, pulau Marore di Sulawesi Utara.
Saya terperanjat akan asal suara yang mengganggu komunikasi kami. Persoalan itu tak bisa langsung terjawab. Selepas 10 hari berselang, sang teman menceritakan, suara itu muncul karena kalau ingin menelepon dari pulau terluar kita harus berada tepat di bawah piringan pemancar satelit komunikasi yang ada di kantor kecamatan. Mau tak mau harus berjongkok untuk bisa berkomunikasi dengan orang di luar pulau. Itu pun terbatas untuk 5 kali sambungan dan sangat bergantung pada cuaca.
Pengalaman-pengalaman selama berada di pulau terluar diceritakan ke saya. Marore sekarang lebih dikenal sebagai border cross area (BCA) dibandingkan Miangas. Orang-orang Philipina banyak yang masuk ke sini untuk berdagang kebutuhan bahan makanan dan perlengkapan rumah tangga.
Kondisi sosial masyarakat Marore memang masih di bawah kebanyakan pulau di Sulut. Untuk sekolah sangatlah terbatas. Sampai sekarang saja, untuk SMA hanya ada dua siswa, karena berkaca dari tahun sebelumnya, hampir 100 persen siswa SMA di sini dinyatakan tak lulus.
Ada yang menarik selama masa UN. Murid SD terpaksa harus ujian jam 5 sore waktu setempat karena keterlambatan soal ujian. Kepala sekolah dan beberapa guru terpaksa menjemput soal di ibukota kabupaten, Tahuna, selama 6 jam perjalanan laut. Tujuannya hanya satu, demi anak didiknya. Belum lagi fasilitas yang tak memadai. Buku bantuan dari pemerintah terkadang bukan sarana penunjang pendidikan, kebanyakan buku cerita yang terkait dengan mata pelajaran. Ironi ini sepertinya tak pernah usai.
Sumber kehidupan masyarakat Marore adalah nelayan. Karena berada di samudera luas, nelayan hanya bisa melaut selama 3 bulan setiap tahunnya. Selebihnya bertani kopra, karena ombak yang tinggi.
Bulan Mei adalah musim tangkap hiu. Nelayan harus ke laut lepas di sekitar pulau Matutuang yang berjarak 2 jam perjalanan laut untuk menebar long line. Sistem tangkap hiu di sini masih tradisionil. Semalaman berada di tengah laut, berharap ada kawanan hiu yang terjebak long line sepanjang 4 kilometer. Keesokan harinya, baru nelayan mengangkat long line. Banyak hiu yang bisa dikumpulkan. Mereka mengangkat hiu dengan cara mendekat menggunakan gabus bekas. Hiu-hiu yang ditangkap diambil siripnya. Harga jualnya sangat murah, hanya 700 ribu hingga 1,2 juta perkilonya. Tidak sepadan dengan resiko kerja mereka. Biasanya penjualan dilakukan langsung di laut. Mereka menjual ke kapal-kapal fuso berbendera Philipina. Pembayarannya biasa menggunakan uang peso, rupiah atau ditukar dengan susu.
Kesulitan terbesar masyarakat adalah air bersih, karena pembangunan fasilitas air bersih oleh pemerintah dihentikan. Mereka terpaksa harus berjalan puluhan kilometer untuk air bersih. Air bersih hanya untuk masak, jangan heran kita tidak boleh royal dengan air untuk mandi.
Puskesmas pembantu lebih banyak kosong. Marore dan beberapa pulau lainnya hanya dilayani satu orang pembantu dokter yang telah mengabdi kurang lebih 30 tahun. Apalagi belakangan ini wabah malaria mulai endemik di beberapa pulau.
Cerita Marore tak akan pernah habis..
Lain halnya dengan pulau Kawio, masyarakat di sini hanya mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga jenjang SMP. Itu pun tidak di pulau, mereka harus tinggal di Tahuna. Caranya, menumpang rumah di pinggir kota yang tak layak dari segalanya. Ketika anak mereka tamat, rumah itu nantinya digunakan secara bergantian oleh masyarakat pulau lainnya. Begitu terus entah sampai kapan..
Kedekatan jarak dan budaya dengan Philipina membuat mereka menjadi satu. Ketika ada perhelatan tinju yang melibatkan Manny Pacquiao, mereka rela urunan BBM untuk menonton. Karena di pulau ini tak ada jaringan listrik. Semuanya menggunakan mesin genset.
Ada yang sedih dari cerita sang Bupati "Pemerintah menggelontorkan dana 136 M untuk dua kabupaten Talaud dan Tahuna", tapi kenyataannya yang terserap di Tahuna hanya 6 M, sisanya masuk ke Talaud. Padahal Talaud sudah lebih maju dibandingkan Tahuna. Tapi begitu kenyataan yang ada. Pemerintah hanya melihat fisiknya saja, tak pernah masuk lebih dalam untuk menyalurkan dana pembangunan. Semoga Tahuna bisa berkembang lebih dari yang masyarakat inginkan.

Salam Ujung Negeri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar