Selasa, 23 Agustus 2011

Terasing di Tanah Sendiri


"saya datang kesini memang untuk sekolah, tapi sekarang saya sulit, ke sekolah tak ada ojek padahal jauh, pulang sekolah saya belum tentu makan, kalau ada makanan saya makan, kalau tidak ada saya tidak makan"

dengan suara lirih dan bahasa yang sulit saya mengerti, Maria Niager (14) mengungkapkan perasaannya saat saya wawancarai akhir Juni 2011 lalu. Siswa kelas 1 SMP Tegasa desa Kwimi distrik Arso Kota, Keerom ini sudah hampir dua tahun berada di Indonesia. Maria ialah satu diantara 20-an anak Repatriasi dari Papua Nugini. [Repatriasi: Kembalinya suatu warga negara asing yang pernah menjadi tempat tinggal menuju tanah asal kewarganegaraannya]. Di Indonesia, Maria memupuk cita-citanya. Kedua orang tuanya masih tinggal di Papua Nugini (PNG).

Tubuh bongsornya, membuat Maria tampak seperti gadis yang kuat dan berani. yaa..Maria berani mengambil resiko belajar di Indonesia, dengan segala keterbatasannya.

"Di PNG belajar bahasa inggris tidak sulit, sekarang belajar bahasa Indonesai sulit. Tapi saya tetap belajar, saya akan tetap belajar supaya bisa kerja yang baik disini"

begitulah yang disampaikan Maria dengan bahasa Inggris Pidgin [bahasa keseharian warga PNG] yang fasih. Semangat Maria bukan tanpa alasan, Ia mengambil pelajaran dari saudara-saudaranya terdahulu. Andrian Girbes (48) adalah paman Maria, yang juga merupakan warga repatriasi. Di depan saya, Andrian menunjukkan ijazah dan sertifikat kelulusan yang didapatkannya selama di PNG. Namun sayang, lembar demi lembar sertifikat itu kini tak berarti.

Bermodal sertifikat lulusan PNG, Andrian tidak bisa berbuat banyak di negerinya sendiri, Indonesia. Empat puluh tahun Andrian tinggal di PNG, hingga akhirnya tahun 2009 lalu Ia kembali ke Indonesia. Andrian bersama 25 orang repatriasi lainnya kembali ke Indonesia setelah mendapat iming-iming kesejahteraan dari pemerintah. Dengan pakaian yang melekat di badan, mereka datang ke Indonesia menjemput asa.

Mereka memilih kembali ke Indonesia, lantaran janji seorang Bupati yang mendatanginya saat di PNG, bahwa kehidupannya selama di Indonesia akan ditanggung negara, termasuk tempat tinggal dan lapangan kerja. Mendengar janji dan iming-iming itu, Andrian tak berpikir panjang. Ia dan 12 Kepala Keluarga lainnya berangkat dari PNG dengan menumpang pesawat perintis dan diterima di kantor Imigrasi Jayapura. Satu minggu di karantina, Andrian dipindahkan ke gedung sebuah yayasan, sambil menunggu kabar bahagia datang. Selang beberapa waktu, mereka seolah kehilangan jejak penguasa. Sampai akhirnya ia harus menumpang di rumah warga di desa Kwimi.

Perkampungan desa Kwimi yang jaraknya sekiar 1 km dari Ibukota kabupaten Keerom ini menjadi pelabuhan terakhir bagi Andrian. Ada 5 rumah yang akhirnya bisa ditempati warga repatriasi. Rumah ini adalah rumah wilik warga Arso yang dengan sukarela mereka pinjamkan sementara. Sebelum memasuki rumah berukuran 4,5 x 4 meter ini, tampak bendera PNG terpampang di kusen pintu rumah Andrean. Hal ini mengusik saya untuk mengetahui bagaimana kehidupan Andrian dan keluarga-keluarga repatriasi lainnya. Tak ada barang mewah dan fasilitas lainnya yang memadai. Pakaian mereka biarkan berserakan, tak ada lemari. tak ada meja dan kursi. Perabot dapur yang sebagian mereka bawa dari PNG kondisinya sudah usang tak bisa dipakai. tidak hanya itu, subsidi bahan makanan pokokpun tersendat, tak jarang mereka mendapatkan jatah beras yang tak layak. "beras ada tapi susah.. jarang.. itu beras kadang su tidak bae..su bau.. kasi makan babi boleh”, keluh Andrian. Dirumahnya, Ia hanya punya 2 buah kasur dan 2 bantal, katanya itu pemberian pemerintah.

Andrian tinggal bersama seorang istri dan 5 orang anaknya. Seorang anak perempuannya kini telah kembali lagi ke PNG [mungkin bisa disebut Re-Repatriasi]. Bukan tanpa alasan, putri Andrian, Margareta kecewa betul dengan pemerintah. Saat beberapa tahun yang lalu, Margareta menikah dengan warga PNG dan memilih ikut orangtuanya kembali ke Indonesia. Hingga akhirnya, Margareta hamil dan melahirkan. Sayang...proses melahirkan tidak dibantu petugas kesehatan. Margareta yang saat itu melahirkan bayi kembar kondisinya memburuk, termasuk kedua bayinya. Hingga salah satu dari bayinya tak bisa diselamatkan dan meninggal. Margareta mengikhlaskan kepergian seorang bayinya, namun keihlasan Margareta belum cukup. Ia harus menerima kisah pahit saat sang bayi berusaha dimakamkan, Ia tak mendapat bantuan peti mati dari pemerintah. Saat itulah Margareta benar-benar merasa, negaranya tak butuh dia.

Bersebelahan dengan rumah Andrian, seorang warga repatriasi lain bernama Cristin Youpi. Dengan bibir merah mengunyah pinang, Cristin menyambut kedatangan saya dirumahnya. Tidak begitu jelas dia bertutur. Lagi-lagi warga repatriasi ini menggunakan bahasa PNG, Pidgin. Cristin memang asli warga PNG, sedangkan suaminya keturunan Papua Indonesia. Kisah Cristin tak jauh berbeda dengan Andrian. Ia merasa tak mendapatkan tempat di “rumah” barunya kini. “kami tidak tahu harus bekerja apa disini, kami tak punya barang-barang disini, hidup disini susah, padahal dulu kami di PNG sudah punya semuanya. Sekarang disini malah susah”, tutur Cristin mengungkapakan kekecewaanya.

****

66 tahun Indonesia Merdeka. Akankah mereka masih bisa merasakan momen kemerdekaan Bangsa Indonesia, yang kini telah menelantarkannya…

Rep. Siska Dewi Arini
Campers. Yunius M

Pancasila di Tanah Papua

Duka mendalam dirasakan tim Ujung Negeri ketika mendengar kabar dari rekan kerja yang meliput di tanah Papua, bahwa salah satu narasumbernya ketika liputan di Kampung Kibay, Keerom, Papua, meninggal ketika melahirkan putra sematawayangnya tanpa bantuan medis.

Carolina Cuntuy, menghembuskan nafas tanggal 18 Juli 2011.

Carolina adalah potret kebanyakan kaum perempuan di pedalaman Papua. Mereka lebih memilih melahirkan di hutan dibandingkan rumah sakit. Bukan tanpa alasan, karena akses dan sarana transportasi menuju rumah sakit yang selalu ada di pusat kota sangatlah minim.

Perjalanan saya menuju Kampung Kibay tidaklah mudah. Maklum saja otonomi khusus yang digembar-gemborkan pemerintah hanya terjadi di pusat kota. Di pedalaman dan perbatasan, hanya ada jalan tanah dan berbatu. Mobil pun harus menggunakan double gardan.

Pemandangan selama di perjalanan hanyalah tampak hutan gundul. Hutan yang sengaja dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Beruntung, kebun kelapa sawit ini membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Semua pekerja diangkut menggunakan truk untuk pergi dan pulang.

Akses jalan yang bisa dilalui mobil hanya sampai di depan kampung. Kibay hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 jam menembus hutan. Inilah potret kampung di perbatasan. Benar-benar terisolir.

Kibay adalah tempat 33 kepala keluarga masyarakat asli Papua bermukim. Kondisinya memang memprihatinkan, tak ada sarana mandi cuci kakus (MCK). Semua dilakukan di kali Asin yang mengalir di kampung ini. Tak heran banyak anak-anak yang terserang penyakit kulit. Bayangkan saja, mereka tidak mengenal sabun, apalagi pasta dan sikat gigi. Berendam di sungai menurut mereka sudah bersih.

50 anak kampung Kibay bisa menikmati pendidikan. Ruang kelas yang tersedia di Sekolah Dasar Inpres hanya 2 dan 2 guru honorer. Jadwal belajar mengajar diatur supaya semua tingkatan kelas bisa belajar setiap harinya.  Tak ada siswa kelas 6 di sini, karena mereka harus pindah ke pusat distrik yang berjarak 11 kilometer. Meski dengan keterbatasan, mereka (para siswa-red) sangat bersemangat.

Ketika saya datang ke sekolah, mereka sedang melakukan upacara penghormatan kepada sang saka merah putih yang sudah kusam dan terkoyak di ujungnya. Sebagai rakyat Indonesia, Pancasila sepertinya sudah di luar kepala (hafal-red). Tapi tidak di sini, masyarakat Kibay tidak hafal sila dalam Pancasila. Sila 1 hingga 3, mereka masih lancar melafalkannya. Setelah itu, yang terucap langsung Sila ke 5, itupun hanya penggalan kata "Bagi seluruh rakyat Indonesia". Kata keadilan tidak diikut sertakan, apa karena masyarakat di sana merasa belum menikmati rasa keadilan itu. Sementara sila ke 4 hilang, entah sengaja atau memang mereka tidak hafal karena kalimat yang terlalu panjang.


Begitulah Papua, mereka sepertinya merasa terasing di negerinya sendiri. Papua biar bagaimanapun tetap bagian dari Indonesia.

Selasa, 24 Mei 2011

Cerita Menggelitik Dari Pulau Terluar

Senin (9/5) malam, seorang teman yang sedang bertugas meliput di Sulawesi Utara mengabarkan : "Tentara yang bertugas di gugusan Kepulauan Nanusa, Sulawesi Utara, diganti secara mendadak setelah ada kunjungan dari pejabat yang mengurusi soal pertahanan".
Dalam hati saya bertanya, apa penyebab mereka yang dengan gigih mengedepankan slogan "NKRI Harga Mati" diganti??
Mau tak mau, saya melanjutkan pembicaraan dengan teman tadi yang terputus. Bukan karena pulsanya habis, tapi karena saat itu dia berada di sebuah pulau yang letaknya paling Utara di wilayah Sulawesi Utara dan berbatasan langsung dengan negara Philipina.
Pertanyaan yang terlontar cuma satu dan to the point, Kenapa?? Keluarlah pernyataan yang cukup menggelitik, "Mereka (red-para tentara) diganti lantaran pernah melontarkan pernyataan "Di sini kalo kami melihat kapal-kapal asing masuk ke perairan Indonesia, kami tak bisa langsung menangkapnya. Karena tak setiap saat kami bisa melakukan patroli di sepanjang garis perbatasan. Harga BBM sangat tinggi di sini. Kalau kapal asing masuk, kita yang bertugas di sini patungan atau urunan untuk membeli BBM dan menangkap kapal itu". Pernyataan sang komandan satuan tugas pengamanan perbatasan itu pernah ditayangkan di sebuah televisi berbasis nasional.
Memang kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), terutama dalam konteks kedaulatan wilayah udara, laut dan darat menjadi tanggung jawab penuh TNI yang dalam keadaan tertentu dibantu Polri. Hal tersebut diatur dengan tegas dalam UUD 1945,Undang-undang No.3 tahun 2002 tentang Pertahanan Negara dan Undang-undang No.34 tahun 2004 tentang TNI, sedangkan untuk Polri dalam Undang-undang No.2 tahun 2002.
Tapi kita harus berkaca, apa yang dialami para tentara di perbatasan memang dilema. Kenyataan yang mau tak mau harus mereka jalani selama masa tugasnya. Di pulau terluar atau yang sekarang pulau terdepan (red-kata pemerintah), masyarakat harus hidup dengan beragam keterbatasan. Jaringan listrik, fasilitas air bersih, sekolah, jalan, kesehatan, dan seabreg pekerjaan rumah buat pemerintah daerah dan pusat. Tapi mereka tak pernah ambigu dengan republik ini?? Persoalan soal BBM memang sebenarnya masalah yang sangat sederhana, tapi akhirnya menjadi pelik. Kenapa?? Lantaran pasokannya menggantungkan pada ketersediaan sarana transportasi "kapal Pelni dan kapal perintis" yang melayani rute pulau-pulau di wilayah tersebut. Jangan harap setiap hari ada kapal yang menyambangi pulau. Dua kali dalam sebulan pun, sudah sangat disyukuri oleh masyarakat pulau. Itupun bisa saja tidak sama sekali merapat ke pulau, karena cuaca ekstrem yang menyebabkan ombak tinggi. Kalau sudah begitu, masyarakat hanya bisa berdo'a dan pasrah pada sang Khalik.
Harga BBM yang tinggilah penyebab mereka (red-para tentara penjaga perbatasan) tidak bisa melakukan patroli setiap saat. Jadi seharusnya para atasan dan pejabat tempat mereka bernaung sadar, kesalahan bukan 100 persen milik mereka yg bertugas. Para atasan dan pejabat sebenarnya juga ada andilnya, karena mereka tak mau menyuarakan persoalan-persoalan yang dihadapi anak buahnya selama bertugas kepada sang Panglima tertinggi.
Okelah, ada gurauan warung kopi "Kalau jadi tentara atau polisi tidak boleh cengeng atau mengeluh. Mereka sudah dididik untuk bisa bertahan dengan keterbatasan". Tapi mereka semua juga manusia, jadi wajar saja jika sesekali ada keluhan dan sebagainya.
Kalau kita mau jujur, seharusnya para petinggi, pejabat sampai pada titik yang paling tinggi ikut bertugas dan merasakan hidup di pulau terluar. Tapi jangan seperti kunjungan pejabat dan VVIP, semua serba mewah dan terkesan diada-adakan dalam waktu sekejap. Mereka harus ikut merasakan penderitaan bawahannya dan masyarakat. Jangan hanya bilang mereka yang di atas bisa merakyat.
Satu lagi yang membuat saya tak habis pikir, kenapa pergantian personil dilakukan setelah ada kunjungan mendadak dari pejabat yang mengurusi bidang pertahanan?? Apakah karena pejabat itu malu. Yang jelas mereka tak mau berkaca dari kenyataan.
Karena kebanyakan kunjungan yang dilakukan para pejabat ke pulau-pulau terluar hanya seperti ingin numpang membuang air kecil di sana. Datang dan kepulangan mereka tak lebih hanya dalam waktu beberapa jam saja. Itupun dengan ditunggu kapal-kapal besar. Padahal, kalau masyarakat biasa, tertinggal kapal berarti harus menunggu berbulan-bulan lagi untuk bisa keluar dari pulau.
Pesan masyarakat pulau kepada saya dalam sambungan teleponnya cuma sederhana, seperti kesederhanaan kehidupan mereka. Pembangunan yang dilakukan seharusnya mencerminkan kebutuhan masyarakat, jangan terjadi tumpang tindih.
Mereka tidak ambigu dengan republik ini, tapi mereka kecewa dengan janji-janji yang selalu diumbar ketika berkunjung. Banyak janji tinggal janji, tapi sampai detik ini mereka yang tinggal di batas negara terus diabaikan.

Salam Ujung Negeri

Teknologi Kuno yang Membawa Kabar Baik

11 Maret media-media asing ramai memberitakan kejadian gempa yang menimbulkan efek tsunami di Jepang. Tentunya seluruh dunia ikut berbelasungkawa "Pray for Japan". Sedih memang melihat banyaknya jatuh korban jiwa di negara yang memiliki kesiapan lebih dalam mengantisipasi bencana tersebut.
Belum lagi kabar yang dilepaskan badan pemantauan bencana menyebutkan, efek tsunami akan sampai di seluruh negara yang ada di Samudera Pasifik. Pikiran saya langsung tertuju pada sahabat-sahabat saya yang sedang menjalankan rutinitas tugas di Kepulauan Mapia, Supiori, Papua.
Belum sempat berpikir, deringan telepon, pesan dari atasan sahabat-sahabat saya itu terus berdatangan. Mereka ingin mendapatkan kabar langsung dari yang jauh di kepulauan. Memang terkadang, ketika ada kejadian yang bisa membahayakan keselamatan jiwa seseorang, kita selalu berpikir instan. Perlu diingat, Indonesia memiliki lebih dari 18 ribu pulau-pulau kecil yang sebagian ada di garis depan negara. Dari sekian banyak pulau itu, hanya ada beberapa pulau yang bisa mengakses sarana telekomunikasi. Itupun bisa dihitung dengan jari.
Memang sebelum pergi bertugas, sahabat saya memberitahu bahwa akses telekomunikasi di kepulauan yang berbatasan langsung dengan negara kepulauan Palau ini benar-benar tidak ada. Saya makin terjepit dengan perasaan cemas.
Bagaimana ini?? Andaikan di awal keberangkatan mereka dibekali telepon satelit. Hanya dengan itu mereka mungkin bisa langsung menghubungi orang-orang di kantor atau bahkan keluarga mereka yang berharap cemas menanti kabar. Tapi nyatanya, birokrasi dan administrasi membuat segala keperluan utama itu terabaikan. Apa mau dikata, toh mereka tetap harus berangkat menjalankan tugas.
Cemas. Satu sisi yang sepertinya akan terus menghantui saya sebagai sahabat. Saya mencoba menenangkan diri dan berpikir dengan jernih. Masa sih, diantara ketiga pulau yang ada di gugusan Kepulauan Mapia tak ada sarana komunikasi yang bisa mengabarkan keadaan pulau itu kepada dunia luar.
Tangan terus bergerak, membuka kontak di telepon genggam. Satu hingga tiga nomor sahabat di Papua saya hubungi, mereka bilang "berdoa saja semoga mereka selamat". Ucapan itu bukan tanpa alasan, karena memang tak ada sarana komunikasi di sana. Aduh..munculah perasaan bersalah pada diri saya, kalau terjadi hal yang tidak kita inginkan pada sahabat-sahabat saya. Di tengah rasa cemas dan galau yang bercampur, datang sebuah pesan "coba hubungi nomor ini, dia salah satu perwira Marinir di Lantamal Biak. Mungkin dari dia, kita bisa tahu kabar sahabatmu di sana". Semua indera di tubuh sepertinya tertuju pada nomor yang ada di pesan singkat.
Dua tiga kali dihubungi tak juga tersambung. Sampai akhirnya ada suara hallo di seberang telepon. Sang perwira bilang, semua keadaan sahabat dan masyarakat baik-baik saja. Alhamdulillah, jawabannya yang menuntaskan cemas saya.
Tapi bukannya senang, saya malah jadi bingung, bagaimana sang perwira bisa mendapatkan kabar secepat itu??
Usut punya usut, dia menjelaskan panjang lebar soal teman-temannya sebagai prajurit yang sedang mengabdi di pulau terluar. Mereka yang tergabung dalam Satgaspam Puter (red-satuan tugas pengamanan pulau terluar) 9 ini memiliki teknologi yang sudah mulai ditinggalkan jaman. Apa?? Radio Single Side Band. Radio berbasis satelit inilah yang bisa membawa pesan ke dunia luar.
Suka duka selama bertugas di pulau terluar dicurahkan. Kalau kangen dengan keluarga, biasanya para prajurit menggunakan radio ini. Mereka meminta teman yang bertugas di Lantamal Biak menghubungi nomor telepon keluarga. Komunikasi dan kerinduan pun bisa dituntaskan hari itu juga. Tapi itu tidak bisa dilakukan setiap hari, ada waktu tertentu dan tergantung faktor cuaca. Karena hujan seringkali menghambat proses komunikasi.
Bukan hanya itu, ketika pasokan bahan makanan habis dan kapal perintis yang hanya menyambangi pulau ini dua kali dalam sebulan gagal berlayar karena ombak, bukan tak mungkin mereka harus mencari pengganti makanan. Berada di pulau memang memudahkan mencari makanan, ikan berlimpah di sini. Tapi untuk mencari pengganti nasi?? Asupan karbohidrat bisa didapat dari boraks, sejenis tanaman talas yang beracun. Biasa tumbuh di hutan-hutan kepulauan wilayah Papua. Tak hanya itu, ada juga sukun. Cara memasak keduanya sama, dengan cara dikukus atau goreng.
Di Mapia, kesehatan hanya ada satu bulan sekali selama empat jam. Dokter dari kota diterjunkan untuk memberikan pelayanan kesehatan kepada masyarakat. Gelap sudah menjadi hal yang biasa bagi mereka. Jenjang pendidikan hanya ada sampai sekolah menengah pertama, dengan jumlah guru terbatas. Belum lagi belakangan, sumber mata pencaharian mereka sebagai petani kopra terancam. Pohon kelapa mulai banyak yang mati terserang hama. Tapi mereka tetap cinta dengan Indonesia.
Keluh kesah itu tak selesai selama satu hari penuh. Hari berikutnya, sang perwira bilang NKRI adalah harga mati. Dan terakhir kabarnya, tsunami hanya 10 cm di sana.
Kabar yang berhembus bersama alunan musik khas Papua yang mengiringi tarian Yospan.

Salam Ujung Negeri

Indonesia Juga Indah

Bagi para travellers pergi ke luar negeri sangat menyenangkan. Dari awal persiapan mereka sangat antusias, itu terjadi hingga menjelang keberangkatan.
Saya tidak bermaksud menggurui, sebenarnya keindahan di negeri kita tak kalah dibanding negara-negara lain. Bahkan masih banyak di Indonesia, keindahan alam yang belum tersentuh banyak orang.
Sebagai contoh, kalau kita akan melancong ke gugusan pulau Natuna, yang masih dalam bagian Kepulauan Riau. Berangkat dari Jakarta, kita bisa menggunakan sarana transportasi yang katanya paling aman (red-pesawat) sampai Batam, kemudian dilanjutkan dengan pesawat perintis (ada 2 maskapai) langsung menuju bandar udara Ranai, di Kepulauan Natuna. Tapi kita harus memperhitungkan waktu keberangkatan, karena jadwal pesawat perintis tak setiap hari.
Sahabat saya pernah bercerita tentang pulau Senua. Dari kejauhan pulau ini nampak seperti seorang ibu hamil yang sedang tidur. Hamparan pasir putih di pulau ini begitu indah. Meski dermaga yang ada rusak dimakan usia, tapi kapal bisa merapat ke bibir pantai. Pulau tak berpenghuni ini kaya akan sumber laut alias ikan. Tak jarang, dijadikan tempat singgah bagi nelayan yang mencari ikan. Tidak akan menyesal jika singgah ke sana, jaraknya hanya 30 menit dari pelabuhan di Tanjung Senubing. Tak hanya itu, di pulau ini banyak batu-batuan besar berbentuk belimbing. Kalau air laut surut, kita bisa mengelilingi pulau dengan berjalan kaki.
Melangkah lebih jauh, kita bisa pergi ke pulau Tiga. Dari desa Sepempang, kita bisa menyewa perahu nelayan dengan harga yang murah. Di pulau ini, kita disajikan pemandangan bawah laut dengan jenis ikan yang beragam. Masyarakat pulau yang berprofesi sebagai nelayan tambak ini menjadi salah satu pengekspor terbanyak jenis ikan ke luar negeri. Tak heran, di sini kita bisa dengan mudah melihat ikan dengan mata telanjang. Pulau ini jadi sasaran empuk illegal fishing negara tetangga, terutama Vietnam. Banyak kapal-kapal nelayan asing yang dikaramkan dan awaknya diproses secara hukum. Sayang seribu sayang, pembangunan belum menyentuh kawasan ini.
Bagi para pecinta penyu, bisa menyusuri pulau Panjang. Akses jalan menuju pulau memang berat, kita harus menyewa kendaraan double gardan. Karena jalan yang dilewati masih jalan tanah. Menumpang perahu nelayan dari desa Teluk Buton, kita langsung menuju pulau yang hanya dihuni 3 kepala keluarga ini.
Pasir putih, pantai yang jernih menjadi pemandangan. Berada di pulau Panjang, waktu seperti berhenti. Meski gelap gulita, lantaran belum ada fasilitas listrik, tapi pulau ini menjadi tempat penyu bertelur.
Pak Usman hampir setiap minggu berkeliling pulau untuk mengumpulkan telur-telur penyu. Nantinya telur itu ditetaskan menjadi tukik dan dilepaskan kembali ke laut lepas. Niatnya hanya untuk melestarikan keberadaan penyu. Niat itu dijalani dengan ikhlas tanpa mengharap bantuan dari pemerintah.
Mendengar cerita itu, saya jadi berpikir "Indonesia itu ternyata indah dan tak kalah dibandingkan negara-negara lain".

Salam Ujung Negeri

Indonesia Cita Rasa Malaysia

Awal tahun 2000, saya dan sahabat sewaktu bekerja di sebuah surat kabar terbitan Surabaya berencana mengadakan perjalanan ke sebuah pulau yang hanya berjarak setengah jam dari kota industri Dumai.
Tapi kami berdua sepakat untuk berangkat dari kota Pekanbaru. Usai kumandang adzan subuh, kami berangkat menuju bandara Soetta. Karena jadwal keberangkatan maskapai yang ditumpangi pukul 06.15 wib.
Seperti biasa, setelah melengkapi administrasi untuk penerbangan, kami menunggu di ruang tunggu bandara. Baru sekali menyeruput coklat panas pembelian di sebuah toko cepat saji, terdengar sayup-sayup suara "Permohonan maaf dari sebuah maskapai penerbangan. Penerbangan menuju Pekanbaru tertunda 30 menit". Kanan-kiri kami mulai gelisah, karena mereka mungkin telah lama menunggu di sini. Tapi yang nama negeri ini soal "jam karet" sudah tak asing lagi.
Setelah menunggu, pesawat akhirnya boleh dinaiki, dan mendarat mulus di kota tujuan.
Pekanbaru sudah lebih maju dan pagi di sini seperti di Jakarta. Macet..macet. Sebuah resiko yang harus ditanggung oleh masyarakat untuk perkembangan kota. Langkah kaki kami menuju pelabuhan untuk menumpang speedboat menuju kota Bengkalis lanjut Dumai. Perjalanan yang cukup melelahkan, namun tidak terasa karena pemandangan di sepanjang sungai yang disajikan cukup indah. Sampai di Dumai, kami menyewa perahu otok-otok nelayan untuk diantar ke pulau Rupat.
Pulau Rupat yang terbelah menjadi dua kecamatan ini (red-Kec.Rupat dan Kec.Rupat Utara) menyambut kami dengan dermaga kayu yang tak pernah berubah sejak kami datang beberapa tahun lalu. Berkeliling pulau, jangan berharap kita bisa mengendarai mobil. Jalan yang ada banyak yang berlubang dan putus. Itu pun tidak di semua kampung ada jalan.
Rupat benar-benar mengandalkan alam. Pagi hingga sore penerangan dari matahari. Beranjak malam, Rupat gelap gulita. Bagi masyarakat yang punya uang, mereka bisa menikmati cahaya lampu redup dari mesin genset. Dan itu cuma untuk lima jam lamanya. Cerita klasik bangsa ini yang tak pernah selesai.
Beranjak pagi, kami berkeliling kampung melihat Rupat yang sesungguhnya. Masyarakat menanam kelapa sawit, hasilnya bukan untuk Indonesia. Karena jarak dan biaya menuju ibukota Provinsi yang mahal, kelapa sawit dijual ke Malaysia. Tak heran, banyak barang-barang asal Malaysia yang beredar, termasuk sepeda motor.
Omongan Gubernur Kepri memang tak salah "Bagaimana anak-anak pulau mau maju, kalo buat listrik aja kita tak bisa memenuhi". Anak-anak di pulau Rupat hanya bisa bersekolah, tapi tanpa didukung fasilitas pendidikan yang maju seperti di kota besar. Di kota besar, anak sekolah sudah terbiasa menggunakan komputer, notebook, laptop, bahkan Ipad. Di Rupat, semuanya menjadi mustahil.
Mereka tak memikirkan teknologi. Untuk sekolah saja mereka harus berjuang melewati sungai-sungai tanpa jembatan menuju tempat mereka menimba ilmu. Pergi dan pulang sekolah harus mengeluarkan uang hampir 10 ribu rupiah hanya untuk naik rakit. Tapi mereka tak kecil hati, mereka haus akan ilmu.
Belum puas menikmati Rupat, kami disodorkan cerita keindahan alam di Rupat Utara, bagian lain pulau ini. Menuju ke sana butuh perjuangan, delapan jam kita berkendara sepeda motor melewati jalan becek dan berdebu. Ternyata kondisi jalan, lebih parah dibandingkan Kec.Rupat. Tapi semua itu terbayar oleh keindahan pantainya. Pasir putih seperti kristal terkena pantulan sinar matahari senja. Kedatangan kami langsung disambut warga Rupat Utara dengan tarian Zapin Api. Tarian yang sudah jarang diperagakan.
Rupat Utara memang didominasi oleh pendatang Tionghoa. Merekalah asal muasal penduduk pulau Rupat. Di sepanjang rumah, kami bisa melihat altar sembahyang dan bendera leluhur. Bau dupa menyergap hidung. Masyarakat di sini berkebun karet dan sarang walet. Panennya dibawa ke negeri jiran yang hanya dua jam memakai perahu, dibanding ke ibukota Provinsi yang memakan waktu 6 jam. Barang dan perputaran bisnis kental dengan Malay. Kita bisa menggunakan ringgit.
Sementara di ujungnya ada desa Teluk Rhu, tempat nelayan pulau ini. Mereka sebagian besar berasal dari Malay. Tak heran banyak yang fasih menggunakan bahasa Melayu sana. Kehidupan nelayan sangat miskin, banyak anak-anak yang tak bisa sekolah karena ekonomi orang tua mereka tak cukup. Ngobrol dengan seorang nelayan "Lebih baik hujan batu di negeri sendiri, daripada hujan emas di negeri seberang". Ternyata biar tak diperhatikan pemerintah, mereka lebih cinta Indonesia.
Penggarapan aspek pariwisata di Rupat sangatlah potensial. Mereka punya pantai, matahari, dan budaya leluhur yang masih terjaga kelestariannya. Tapi pemerintah kita menutup mata. Pariwisata Rupat pernah diklaim Malay. Rupat hanya butuh pembangunan jalan, penginapan dan tentunya sarana transportasi untuk mencapai pulau ini untuk dipromosikan.
Budaya leluhur bisa dilihat di desa Titi Akar. Mayoritas orang Akit tinggal di sini. Kedatangan perahu disambut oleh kelenteng berwarna merah. Kelenteng paling tua di Provinsi Riau. Kelenteng ini dibangun dengan bahan material yang didatangkan langsung dari Malay dan Singapura. Untuk keramik asli made in Cina.
Siaran televisi dan radio yang mudah dijangkau milik pemerintah Malay. Tak heran mereka lebih kenal. Mahathir dibanding SBY. Itulah kenyataan yang harus kita perbaiki.
Rupat adalah bagian Indonesia, tapi Rupat lebih kental dengan rasa Malaysia.

Salam Ujung Negeri

Komunikasi di Bawah Piringan Pemancar Satelit

Hallo..hallo..tiba-tiba ada suara dung..dung..dibarengi suara teman kerja saya di ujung telepon. Pembicaraan hari itu tidak bisa diterima dengan jernih oleh saya. Maklum saja, yang menelepon sedang berada di wilayah pulau terluar, pulau Marore di Sulawesi Utara.
Saya terperanjat akan asal suara yang mengganggu komunikasi kami. Persoalan itu tak bisa langsung terjawab. Selepas 10 hari berselang, sang teman menceritakan, suara itu muncul karena kalau ingin menelepon dari pulau terluar kita harus berada tepat di bawah piringan pemancar satelit komunikasi yang ada di kantor kecamatan. Mau tak mau harus berjongkok untuk bisa berkomunikasi dengan orang di luar pulau. Itu pun terbatas untuk 5 kali sambungan dan sangat bergantung pada cuaca.
Pengalaman-pengalaman selama berada di pulau terluar diceritakan ke saya. Marore sekarang lebih dikenal sebagai border cross area (BCA) dibandingkan Miangas. Orang-orang Philipina banyak yang masuk ke sini untuk berdagang kebutuhan bahan makanan dan perlengkapan rumah tangga.
Kondisi sosial masyarakat Marore memang masih di bawah kebanyakan pulau di Sulut. Untuk sekolah sangatlah terbatas. Sampai sekarang saja, untuk SMA hanya ada dua siswa, karena berkaca dari tahun sebelumnya, hampir 100 persen siswa SMA di sini dinyatakan tak lulus.
Ada yang menarik selama masa UN. Murid SD terpaksa harus ujian jam 5 sore waktu setempat karena keterlambatan soal ujian. Kepala sekolah dan beberapa guru terpaksa menjemput soal di ibukota kabupaten, Tahuna, selama 6 jam perjalanan laut. Tujuannya hanya satu, demi anak didiknya. Belum lagi fasilitas yang tak memadai. Buku bantuan dari pemerintah terkadang bukan sarana penunjang pendidikan, kebanyakan buku cerita yang terkait dengan mata pelajaran. Ironi ini sepertinya tak pernah usai.
Sumber kehidupan masyarakat Marore adalah nelayan. Karena berada di samudera luas, nelayan hanya bisa melaut selama 3 bulan setiap tahunnya. Selebihnya bertani kopra, karena ombak yang tinggi.
Bulan Mei adalah musim tangkap hiu. Nelayan harus ke laut lepas di sekitar pulau Matutuang yang berjarak 2 jam perjalanan laut untuk menebar long line. Sistem tangkap hiu di sini masih tradisionil. Semalaman berada di tengah laut, berharap ada kawanan hiu yang terjebak long line sepanjang 4 kilometer. Keesokan harinya, baru nelayan mengangkat long line. Banyak hiu yang bisa dikumpulkan. Mereka mengangkat hiu dengan cara mendekat menggunakan gabus bekas. Hiu-hiu yang ditangkap diambil siripnya. Harga jualnya sangat murah, hanya 700 ribu hingga 1,2 juta perkilonya. Tidak sepadan dengan resiko kerja mereka. Biasanya penjualan dilakukan langsung di laut. Mereka menjual ke kapal-kapal fuso berbendera Philipina. Pembayarannya biasa menggunakan uang peso, rupiah atau ditukar dengan susu.
Kesulitan terbesar masyarakat adalah air bersih, karena pembangunan fasilitas air bersih oleh pemerintah dihentikan. Mereka terpaksa harus berjalan puluhan kilometer untuk air bersih. Air bersih hanya untuk masak, jangan heran kita tidak boleh royal dengan air untuk mandi.
Puskesmas pembantu lebih banyak kosong. Marore dan beberapa pulau lainnya hanya dilayani satu orang pembantu dokter yang telah mengabdi kurang lebih 30 tahun. Apalagi belakangan ini wabah malaria mulai endemik di beberapa pulau.
Cerita Marore tak akan pernah habis..
Lain halnya dengan pulau Kawio, masyarakat di sini hanya mampu menyekolahkan anak-anak mereka hingga jenjang SMP. Itu pun tidak di pulau, mereka harus tinggal di Tahuna. Caranya, menumpang rumah di pinggir kota yang tak layak dari segalanya. Ketika anak mereka tamat, rumah itu nantinya digunakan secara bergantian oleh masyarakat pulau lainnya. Begitu terus entah sampai kapan..
Kedekatan jarak dan budaya dengan Philipina membuat mereka menjadi satu. Ketika ada perhelatan tinju yang melibatkan Manny Pacquiao, mereka rela urunan BBM untuk menonton. Karena di pulau ini tak ada jaringan listrik. Semuanya menggunakan mesin genset.
Ada yang sedih dari cerita sang Bupati "Pemerintah menggelontorkan dana 136 M untuk dua kabupaten Talaud dan Tahuna", tapi kenyataannya yang terserap di Tahuna hanya 6 M, sisanya masuk ke Talaud. Padahal Talaud sudah lebih maju dibandingkan Tahuna. Tapi begitu kenyataan yang ada. Pemerintah hanya melihat fisiknya saja, tak pernah masuk lebih dalam untuk menyalurkan dana pembangunan. Semoga Tahuna bisa berkembang lebih dari yang masyarakat inginkan.

Salam Ujung Negeri

Masyarakat Pulau Terluar Butuh Banyak Zamrisyaf

"Gelombang laut dan bandul lonceng menjadi inspirasi Zamrisyaf. Periset pada Divisi Penelitian dan Pengembangan PT PLN (Persero) ini merancang pembangkit listrik dengan energi gelombang laut yang menggerakkan bandul kemudian diubah menjadi energi penggerak roda gila dan turbin listrik.
Zamrisyaf mendaftarkan teknologi pembangkit listrik tenaga gelombang laut-sistem bandulan (PLTGL-SB) untuk mendapatkan paten sejak tahun 2002".

Kutipan di atas, saya ambil dari sebuah laman nasional. Judulnya membuat saya tertarik "Listrik dari Gelombang Laut Menjanjikan".
Apa yang dilakukan salah seorang periset PLN ini sangat menjanjikan bagi masyarakat Indonesia yang tinggal di pulau-pulau terluar. Rasanya, teknologi ini bisa menjadi pelipur lara mereka yang hingga Indonesia merdeka selama hampir 66 tahun ini belum menikmati fasilitas listrik.
Listrik menjadi barang yang mahal di pulau, masyarakat sudah terbiasa dengan gelap. Orang yang mampu menggunakan mesin genset, sementara yang tak mampu menggunakan pelita minyak tanah. Begitulah kenyataan yang dihadapi masyarakat pulau.
Respon pemerintah sebenarnya sangat cepat untuk masyarakat pulau. Mereka dengan giat melakukan pembangunan, tapi pembangunan salah arah. Kenapa begitu??
Karena pembangunan tidak mencerminkan kebutuhan masyarakat pulau. Kesannya hanya ingin menghabiskan budget anggaran yang tersisa di kas kantornya. Kata lainnya, pembangunan tidak pro rakyat tapi pro kantong pejabat. Itulah kejadian nyata di negeri ini.
Ada pulau yang membutuhkan fasilitas air bersih, malah dibangunkan fasilitas kantor imigrasi. Ada yang butuh SPBU, malah dibuatkan terminal angkutan umum yang luas, padahal mobil angkutan yang ada hanya sedikit. Jelas itu sama saja buang-buang uang untuk kebutuhan yang tidak perlu. Dan masih banyak lagi contohnya.
Kembali ke listrik. Anak-anak pulau butuh untuk bisa melihat dunia luar. Kenapa bisa listrik dijadikan jendela buat melihat dunia luar?? Padahal listrik hanya menghasilkan energi yang bisa menghidupi alat-alat elektronik. Dengan listrik, mereka bisa menonton televisi, mendengarkan radion bahkan membuka internet menggunakan komputer. Sepintas listrik memang bukan kebutuhan pokok, tapi di pulau listrik jadi kebutuhan pokok yang harus dipenuhi jika ingin maju.
Dari listriklah, sumber daya manusia (red-SDM) berkualitas bisa dipenuhi oleh masyarakat pulau. Mereka tak tertinggal beribu-ribu langkah dari teman-teman mereka yang tinggal di kota.
Yang jelas masyarakat pulau butuh listrik. Mereka butuh lebih dari satu orang seperti Zamrisyaf, mau meriset apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat pulau. Tapi kapankah, teknologi itu bisa direalisasikan?? Jangan-jangan penemuan hanya akan mengisi daftar pustaka tempatnya bekerja. Mudah-mudahan, birokrasi dan administrasi tidak menghalangi pembangunan fasilitas temuan Zamrisyaf..

Salam Ujung Negeri

Senin, 23 Mei 2011

Cerita Dokter di Perbatasan

Wilayah Selatan Kabupaten Belu, NTT, merupakan daerah rawan longsor, banjir. Ketika bencana itu datang, banyak jalan menuju ke Selatan yang terputus, tak heran jika wilayah ini menjadi terisolir.
Kecamatan Kobalima, merupakan salah satu contohnya. Untuk mencapai wilayah ini kita harus menemui jalan yang terputus, tapi untungnya masyarakat membangun jalur alternatif seadanya. Di tengah keterisoliran Kobalima, ada cerita menarik yang bisa kita teladani.
Dokter Delia F, lulusan sebuah universitas di Jakarta ini melakukan pengabdian kerja di puskesmas Namfalus, wilayah yang berbatasan dengan Timor Leste.
Pengalaman sebagai dokter di wilayah perbatasan tidaklah mudah, ketika pertama datang ke sini, ia sudah dihadapkan dengan persediaan obat yang kosong. Sementara puskesmas ini menjadi andalan bagi desa-desa di dekat Namfalus. Puskesmasnya memang terbilang sederhana, tapi memiliki ruang rawat inap pasien.
Kesehatan menjadi barang tabu di sini, tak mudah mengubah perilaku masyarakat yang masih percaya dengan hal-hal di luar medis. Dari pengalaman sang dokter tertutur, pernah ada pasien anak balita yang menderita penyakit kuning. Setelah diperiksa, kondisinya tak memungkinkan untuk dirawat di puskesmas. Pasien harus dirujuk ke rumah sakit di Atambua. Tapi orang tuanya menolak, dengan alasan menurut tetua kami ini disebut horaks "gak boleh diobati, gak boleh disuntik, dll. Hanya boleh disembur-sembur". Berdasarkan logika, mau disembur bagaimanapun, kondisi sang anak akan semakin parah dan bisa menyebabkan kematian. Akhirnya dokter bersama perawat membujuk orang yang dituakan dalam keluarga itu. Barulah pasien boleh dibawa ke rumah sakit. Fenomena ini masih terus terjadi hingga kemajuan teknologi seperti sekarang.
Belum lagi angka kematian ibu dan bayi yang tinggi di wilayah selatan. Banyak masyarakat yang tinggal di dekat puskesmas, enggan melahirkan dengan bantuan medis. Seperti yang terjadi bayi maria, sang ibu baru meminta bantuan medis ketika tali pusar bayi tak mau lepas. Padahal jarak rumah ke puskesmas hanya 500 meter. Setelah dilakukan pemeriksaan medis, kandungan ibunya sudah turun. Bayi dan sang ibu pun harus dirujuk ke atambua. Perjalanan menggunakan ambulance puskesmas mengalami banyak gangguan. Karena jalan yang dilalui banyak yang terputus, apalagi wilayah selatan sering diguyur hujan. Kejadian melahirkan di rumah sendiri menjadi hal yang biasa di Namfalus dan sekitarnya.
Setiap hari Kamis, adalah hari besar bagi masyarakat Alas, yang berada di atas perbukitan. Bagi dokter, ia harus menyambangi puskesmas Alas untuk melakukan praktek. Biasanya bisa puluhan orang rela antri berobat yang hanya dilakukan sekali tiap minggunya, kecuali ada panggilan darurat. Menggunakan sepeda motor bantuan pemerintah, dokter membelah jalan tanah dan hutan menuju desa Alas. Sampai di sana, ia langsung mengobati seorang ibu yang mengalami luka di kaki. Setelah berkonsultasi, pasien ternyata mengobati lukanya yang gatal dengan cara dibakar. Kaget jelas dokter mendengarnya, dari mulutnya terucap "kenapa gak ditambahin bawang, cabe, sekalian dimasak". Dibakar menggunakan api dari kayu bakar jelas membuat luka itu makin menjadi, bisa-bisa malah infeksi. Akhirnya luka dibersihkan dan kemudian diberi salep. Tak lupa dibungkus perban untuk menghindari kontak dengan debu. Beginilah pasien di desa Alas, lebih terkebelakang dibandingkan desa Namfalus.
Bagi masyarakat yang tinggal di pegunungan, mereka tidak yakin Indonesia sudah merdeka. Kenapa?? Karena sampai saat ini untuk kesehatan dan sekolah pun sangat susah.
Sekolah di Kobaliman, hanya ada SD dan SMP Katolik. Itupun dengan segala keterbatasan. Bangunannya sudah tak layak untuk kegiatan belajar-mengajar. Tak ada buku penunjang, mau maju berawal dari guru. Karena hanya guru yang memegang buku penunjang mata pelajaran. Mereka harus rajin mencatat. Komputer tidak bisa dinyalakan, karena listrik belum menjangkau kawasan ini. Pemerintah hanya membantu menyediakan mesin genset, sekolah harus keluar biaya banyak untuk BBM, lantaran sekolah dilakukan hingga jam 9 malam. Selain itu, bantuan buku bukannya buku penunjang. Tapi buku cerita yang terkait mata pelajaran. Sungguh menyedihkan?? Jangan heran kalau sumber daya manusia (red-SDM) di wilayah Selatan sangat terbelakang.
Untuk air bersih pun mereka harus mengambil puluhan kilometer. Itupun digunakan untuk masyarakat desa.
Tugas di perbatasan memang berat. Dokter Delia pun pernah merasakan hopeless, tapi kalau dia begitu bagaimana bisa menangani pasien. Semua dokter hanya bisa berharap, agar semua masyarakat sehat. Caranya?? Setiap minggu, ia pun melakukan penyuluhan tentang bagaimana pentingnya menjaga kesehatan ke masyarakat. Supaya kesehatan tidak tabu bagi mereka...


Salam Ujung Negeri

Kamis, 31 Maret 2011

Ujung Negeri (Eps. Pulau Sebatik)


Ujung Negeri
Episode Pulau Sebatik

Sebatik adalah pulau terluar Indonesia yang menyimpan banyak potensi. Pulau yang masuk di Kabupaten Nunukan ini berbatasan langsung dengan Tawau, Malaysia.

Menuju Pulau Sebatik ditempuh menggunakan perahu boat dengan waktu tempuh 2,5 jam dari Tarakan atau 30 menit dari Nunukan. Tim Ujung Negeri (Reporter: Golda Naya/ Camera Person: Febri Nalias) masuk melalui Tarakan. Pelabuhan Tangkayu, tak pernah sepi dari hiruk pikuk kapal boat.

Untuk menuju ke Pulau Sebatik, kita tidak boleh melupakan jadwal keberangkatan kapal boat. Pukul 13.30 WITA, adalah waktu keberangkatan kapal boat terakhir menuju ke pelabuhan Sei Senyamuk. Karena lewat dari jam itu, ombak tinggi seringkali menghantam kapal-kapal pengangkut penumpang. Biaya setiap penumpangnya menuju Sebatik 175 ribu.

Tiba di Sei Senyamuk, banyak mini boat yang menawarkan jasa mengantar menuju Tawa, Malaysia. Bepergian ke sana tidaklah sulit, mereka tinggal mendatangi kantor imigrasi dan meminta cap di buku pas lintas batas.

Tim yang tiba sore hari hanya disuguhkan pemandangan kantor imigrasi yang lusuh dengan kondisi dermaga yang ambrol. Maklum, operasional kantor hingga jam 17.00 WITA.

Penduduk Sebatik memang serba Malaysia, bahkan hingga kebutuhan pokok. Memang bukan hal yang aneh, karena Sebatik bagian Utara adalah wilayah kekuasaan Malaysia. Sedangkan Indonesia menempati Sebatik bagian Selatan.

Kampung Aji Kuning, adalah contoh bagaimana Sebatik terbagi dalam 2 negara. Batas kampung ini ditandai dengan patok semen yang hampir tak terlihat dan pos pengamanan perbatasan yang kecil dan tak terawat.

Selain soal patok batas negara, sungai Aji Kuning juga masih menjadi problem yang tak pernah usai. Warga kedua negara dengan bebas keluar masuk tanpa dokumen apapun.

Banyak warga Indonesia yang rumahnya berada di dalam wilayah 2 negara. Rumah bapak Mapangara, separuhnya berada di Indonesia, sedangkan separuh lainnya yang berfungsi sebagai dapur berada di wilayah Malaysia.

Kebanyakan penduduk Sebatik dulunya menempati rumah di wilayah Indonesia. Karena dianggap terlalu kecil, mereka membangun bagian lain rumah di negara jiran. Banyak rumah penduduk yang tak memiliki sertifikat.

Ibu Hana adalah warga Indonesia yang menyewa rumah di wilayah Aji Kuning milik Malaysia. Wanita asal Bone ini tinggal di Malaysia, tapi memiliki KTP Indonesia.

Pemandangan serupa juga bisa dijumpai di kampung Sei Melayu. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi kita harus meminta izin petugas jaga perbatasan Malaysia.

Banyak warga Indonesia yang ingin berubah kewarganegaraannya menjadi Malaysia. Ibu Darmawati yang tim temui tinggal menunggu ijin mendapatkan kewarganegaraan negeri jiran, karena ia punya penjamin adiknya yang bekerja di Tawau. Tapi tetap saja, Darma tetap mempertahankan KTP Indonesia.

Mata pencaharian penduduk Sebatik adalah berkebun. Salah satu andalannya adalah pisang. Pisang ini dipasarkan langsung ke Tawau, karena harganya yang tinggi.

Selepas Shubuh, para petani mengunakan speed boat mengangkut hasil kebun ke palabuhan Tanjung Batu, Malaysia. Mereka memilih sampai di sana pagi, karena kalau kesiangan hasil kebun tak akan dibeli.

Untuk menjaga wilayah NKRI, tentara yang ditugaskan di batas negara ini seringkali melakukan patroli dan membantu penduduk. Mereka seringkali menjadi guru bahasa Inggris dan agama Islam bagi anak-anak Sebatik.

Untuk membuktikan benarkah banyak warga Indonesia yang pindah kewarganegaraan, tim pun berangkat menuju Tawau. Setiap penumpang harus membayar 15 RM untuk sekali perjalanan.  Ternyata Tawau menjadi magnet penduduk Sebatik.

Sentra perdagangan Tawau dihuni banyak pedagang asal Indonesia. Semua hasil bumi Indonesia dari wilayah Sebatik dijajakan di sini. Dan banyak pedagang yang pindah kewarganegaraan Malaysia karena kehidupan lebih terjamin.

Ujung Negeri (Eps. Pulau Sebatik)


Ujung Negeri
Episode Pulau Sebatik

Sebatik adalah pulau terluar Indonesia yang menyimpan banyak potensi. Pulau yang masuk di Kabupaten Nunukan ini berbatasan langsung dengan Tawau, Malaysia.

Menuju Pulau Sebatik ditempuh menggunakan perahu boat dengan waktu tempuh 2,5 jam dari Tarakan atau 30 menit dari Nunukan. Tim Ujung Negeri (Reporter: Golda Naya/ Camera Person: Febri Nalias) masuk melalui Tarakan. Pelabuhan Tangkayu, tak pernah sepi dari hiruk pikuk kapal boat.

Untuk menuju ke Pulau Sebatik, kita tidak boleh melupakan jadwal keberangkatan kapal boat. Pukul 13.30 WITA, adalah waktu keberangkatan kapal boat terakhir menuju ke pelabuhan Sei Senyamuk. Karena lewat dari jam itu, ombak tinggi seringkali menghantam kapal-kapal pengangkut penumpang. Biaya setiap penumpangnya menuju Sebatik 175 ribu.

Tiba di Sei Senyamuk, banyak mini boat yang menawarkan jasa mengantar menuju Tawa, Malaysia. Bepergian ke sana tidaklah sulit, mereka tinggal mendatangi kantor imigrasi dan meminta cap di buku pas lintas batas.

Tim yang tiba sore hari hanya disuguhkan pemandangan kantor imigrasi yang lusuh dengan kondisi dermaga yang ambrol. Maklum, operasional kantor hingga jam 17.00 WITA.

Penduduk Sebatik memang serba Malaysia, bahkan hingga kebutuhan pokok. Memang bukan hal yang aneh, karena Sebatik bagian Utara adalah wilayah kekuasaan Malaysia. Sedangkan Indonesia menempati Sebatik bagian Selatan.

Kampung Aji Kuning, adalah contoh bagaimana Sebatik terbagi dalam 2 negara. Batas kampung ini ditandai dengan patok semen yang hampir tak terlihat dan pos pengamanan perbatasan yang kecil dan tak terawat.

Selain soal patok batas negara, sungai Aji Kuning juga masih menjadi problem yang tak pernah usai. Warga kedua negara dengan bebas keluar masuk tanpa dokumen apapun.

Banyak warga Indonesia yang rumahnya berada di dalam wilayah 2 negara. Rumah bapak Mapangara, separuhnya berada di Indonesia, sedangkan separuh lainnya yang berfungsi sebagai dapur berada di wilayah Malaysia.

Kebanyakan penduduk Sebatik dulunya menempati rumah di wilayah Indonesia. Karena dianggap terlalu kecil, mereka membangun bagian lain rumah di negara jiran. Banyak rumah penduduk yang tak memiliki sertifikat.

Ibu Hana adalah warga Indonesia yang menyewa rumah di wilayah Aji Kuning milik Malaysia. Wanita asal Bone ini tinggal di Malaysia, tapi memiliki KTP Indonesia.

Pemandangan serupa juga bisa dijumpai di kampung Sei Melayu. Untuk mencapainya bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Tapi kita harus meminta izin petugas jaga perbatasan Malaysia.

Banyak warga Indonesia yang ingin berubah kewarganegaraannya menjadi Malaysia. Ibu Darmawati yang tim temui tinggal menunggu ijin mendapatkan kewarganegaraan negeri jiran, karena ia punya penjamin adiknya yang bekerja di Tawau. Tapi tetap saja, Darma tetap mempertahankan KTP Indonesia.

Mata pencaharian penduduk Sebatik adalah berkebun. Salah satu andalannya adalah pisang. Pisang ini dipasarkan langsung ke Tawau, karena harganya yang tinggi.

Selepas Shubuh, para petani mengunakan speed boat mengangkut hasil kebun ke palabuhan Tanjung Batu, Malaysia. Mereka memilih sampai di sana pagi, karena kalau kesiangan hasil kebun tak akan dibeli.

Untuk menjaga wilayah NKRI, tentara yang ditugaskan di batas negara ini seringkali melakukan patroli dan membantu penduduk. Mereka seringkali menjadi guru bahasa Inggris dan agama Islam bagi anak-anak Sebatik.

Untuk membuktikan benarkah banyak warga Indonesia yang pindah kewarganegaraan, tim pun berangkat menuju Tawau. Setiap penumpang harus membayar 15 RM untuk sekali perjalanan.  Ternyata Tawau menjadi magnet penduduk Sebatik.

Sentra perdagangan Tawau dihuni banyak pedagang asal Indonesia. Semua hasil bumi Indonesia dari wilayah Sebatik dijajakan di sini. Dan banyak pedagang yang pindah kewarganegaraan Malaysia karena kehidupan lebih terjamin.