Selasa, 23 Agustus 2011

Terasing di Tanah Sendiri


"saya datang kesini memang untuk sekolah, tapi sekarang saya sulit, ke sekolah tak ada ojek padahal jauh, pulang sekolah saya belum tentu makan, kalau ada makanan saya makan, kalau tidak ada saya tidak makan"

dengan suara lirih dan bahasa yang sulit saya mengerti, Maria Niager (14) mengungkapkan perasaannya saat saya wawancarai akhir Juni 2011 lalu. Siswa kelas 1 SMP Tegasa desa Kwimi distrik Arso Kota, Keerom ini sudah hampir dua tahun berada di Indonesia. Maria ialah satu diantara 20-an anak Repatriasi dari Papua Nugini. [Repatriasi: Kembalinya suatu warga negara asing yang pernah menjadi tempat tinggal menuju tanah asal kewarganegaraannya]. Di Indonesia, Maria memupuk cita-citanya. Kedua orang tuanya masih tinggal di Papua Nugini (PNG).

Tubuh bongsornya, membuat Maria tampak seperti gadis yang kuat dan berani. yaa..Maria berani mengambil resiko belajar di Indonesia, dengan segala keterbatasannya.

"Di PNG belajar bahasa inggris tidak sulit, sekarang belajar bahasa Indonesai sulit. Tapi saya tetap belajar, saya akan tetap belajar supaya bisa kerja yang baik disini"

begitulah yang disampaikan Maria dengan bahasa Inggris Pidgin [bahasa keseharian warga PNG] yang fasih. Semangat Maria bukan tanpa alasan, Ia mengambil pelajaran dari saudara-saudaranya terdahulu. Andrian Girbes (48) adalah paman Maria, yang juga merupakan warga repatriasi. Di depan saya, Andrian menunjukkan ijazah dan sertifikat kelulusan yang didapatkannya selama di PNG. Namun sayang, lembar demi lembar sertifikat itu kini tak berarti.

Bermodal sertifikat lulusan PNG, Andrian tidak bisa berbuat banyak di negerinya sendiri, Indonesia. Empat puluh tahun Andrian tinggal di PNG, hingga akhirnya tahun 2009 lalu Ia kembali ke Indonesia. Andrian bersama 25 orang repatriasi lainnya kembali ke Indonesia setelah mendapat iming-iming kesejahteraan dari pemerintah. Dengan pakaian yang melekat di badan, mereka datang ke Indonesia menjemput asa.

Mereka memilih kembali ke Indonesia, lantaran janji seorang Bupati yang mendatanginya saat di PNG, bahwa kehidupannya selama di Indonesia akan ditanggung negara, termasuk tempat tinggal dan lapangan kerja. Mendengar janji dan iming-iming itu, Andrian tak berpikir panjang. Ia dan 12 Kepala Keluarga lainnya berangkat dari PNG dengan menumpang pesawat perintis dan diterima di kantor Imigrasi Jayapura. Satu minggu di karantina, Andrian dipindahkan ke gedung sebuah yayasan, sambil menunggu kabar bahagia datang. Selang beberapa waktu, mereka seolah kehilangan jejak penguasa. Sampai akhirnya ia harus menumpang di rumah warga di desa Kwimi.

Perkampungan desa Kwimi yang jaraknya sekiar 1 km dari Ibukota kabupaten Keerom ini menjadi pelabuhan terakhir bagi Andrian. Ada 5 rumah yang akhirnya bisa ditempati warga repatriasi. Rumah ini adalah rumah wilik warga Arso yang dengan sukarela mereka pinjamkan sementara. Sebelum memasuki rumah berukuran 4,5 x 4 meter ini, tampak bendera PNG terpampang di kusen pintu rumah Andrean. Hal ini mengusik saya untuk mengetahui bagaimana kehidupan Andrian dan keluarga-keluarga repatriasi lainnya. Tak ada barang mewah dan fasilitas lainnya yang memadai. Pakaian mereka biarkan berserakan, tak ada lemari. tak ada meja dan kursi. Perabot dapur yang sebagian mereka bawa dari PNG kondisinya sudah usang tak bisa dipakai. tidak hanya itu, subsidi bahan makanan pokokpun tersendat, tak jarang mereka mendapatkan jatah beras yang tak layak. "beras ada tapi susah.. jarang.. itu beras kadang su tidak bae..su bau.. kasi makan babi boleh”, keluh Andrian. Dirumahnya, Ia hanya punya 2 buah kasur dan 2 bantal, katanya itu pemberian pemerintah.

Andrian tinggal bersama seorang istri dan 5 orang anaknya. Seorang anak perempuannya kini telah kembali lagi ke PNG [mungkin bisa disebut Re-Repatriasi]. Bukan tanpa alasan, putri Andrian, Margareta kecewa betul dengan pemerintah. Saat beberapa tahun yang lalu, Margareta menikah dengan warga PNG dan memilih ikut orangtuanya kembali ke Indonesia. Hingga akhirnya, Margareta hamil dan melahirkan. Sayang...proses melahirkan tidak dibantu petugas kesehatan. Margareta yang saat itu melahirkan bayi kembar kondisinya memburuk, termasuk kedua bayinya. Hingga salah satu dari bayinya tak bisa diselamatkan dan meninggal. Margareta mengikhlaskan kepergian seorang bayinya, namun keihlasan Margareta belum cukup. Ia harus menerima kisah pahit saat sang bayi berusaha dimakamkan, Ia tak mendapat bantuan peti mati dari pemerintah. Saat itulah Margareta benar-benar merasa, negaranya tak butuh dia.

Bersebelahan dengan rumah Andrian, seorang warga repatriasi lain bernama Cristin Youpi. Dengan bibir merah mengunyah pinang, Cristin menyambut kedatangan saya dirumahnya. Tidak begitu jelas dia bertutur. Lagi-lagi warga repatriasi ini menggunakan bahasa PNG, Pidgin. Cristin memang asli warga PNG, sedangkan suaminya keturunan Papua Indonesia. Kisah Cristin tak jauh berbeda dengan Andrian. Ia merasa tak mendapatkan tempat di “rumah” barunya kini. “kami tidak tahu harus bekerja apa disini, kami tak punya barang-barang disini, hidup disini susah, padahal dulu kami di PNG sudah punya semuanya. Sekarang disini malah susah”, tutur Cristin mengungkapakan kekecewaanya.

****

66 tahun Indonesia Merdeka. Akankah mereka masih bisa merasakan momen kemerdekaan Bangsa Indonesia, yang kini telah menelantarkannya…

Rep. Siska Dewi Arini
Campers. Yunius M

Pancasila di Tanah Papua

Duka mendalam dirasakan tim Ujung Negeri ketika mendengar kabar dari rekan kerja yang meliput di tanah Papua, bahwa salah satu narasumbernya ketika liputan di Kampung Kibay, Keerom, Papua, meninggal ketika melahirkan putra sematawayangnya tanpa bantuan medis.

Carolina Cuntuy, menghembuskan nafas tanggal 18 Juli 2011.

Carolina adalah potret kebanyakan kaum perempuan di pedalaman Papua. Mereka lebih memilih melahirkan di hutan dibandingkan rumah sakit. Bukan tanpa alasan, karena akses dan sarana transportasi menuju rumah sakit yang selalu ada di pusat kota sangatlah minim.

Perjalanan saya menuju Kampung Kibay tidaklah mudah. Maklum saja otonomi khusus yang digembar-gemborkan pemerintah hanya terjadi di pusat kota. Di pedalaman dan perbatasan, hanya ada jalan tanah dan berbatu. Mobil pun harus menggunakan double gardan.

Pemandangan selama di perjalanan hanyalah tampak hutan gundul. Hutan yang sengaja dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Beruntung, kebun kelapa sawit ini membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Semua pekerja diangkut menggunakan truk untuk pergi dan pulang.

Akses jalan yang bisa dilalui mobil hanya sampai di depan kampung. Kibay hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 jam menembus hutan. Inilah potret kampung di perbatasan. Benar-benar terisolir.

Kibay adalah tempat 33 kepala keluarga masyarakat asli Papua bermukim. Kondisinya memang memprihatinkan, tak ada sarana mandi cuci kakus (MCK). Semua dilakukan di kali Asin yang mengalir di kampung ini. Tak heran banyak anak-anak yang terserang penyakit kulit. Bayangkan saja, mereka tidak mengenal sabun, apalagi pasta dan sikat gigi. Berendam di sungai menurut mereka sudah bersih.

50 anak kampung Kibay bisa menikmati pendidikan. Ruang kelas yang tersedia di Sekolah Dasar Inpres hanya 2 dan 2 guru honorer. Jadwal belajar mengajar diatur supaya semua tingkatan kelas bisa belajar setiap harinya.  Tak ada siswa kelas 6 di sini, karena mereka harus pindah ke pusat distrik yang berjarak 11 kilometer. Meski dengan keterbatasan, mereka (para siswa-red) sangat bersemangat.

Ketika saya datang ke sekolah, mereka sedang melakukan upacara penghormatan kepada sang saka merah putih yang sudah kusam dan terkoyak di ujungnya. Sebagai rakyat Indonesia, Pancasila sepertinya sudah di luar kepala (hafal-red). Tapi tidak di sini, masyarakat Kibay tidak hafal sila dalam Pancasila. Sila 1 hingga 3, mereka masih lancar melafalkannya. Setelah itu, yang terucap langsung Sila ke 5, itupun hanya penggalan kata "Bagi seluruh rakyat Indonesia". Kata keadilan tidak diikut sertakan, apa karena masyarakat di sana merasa belum menikmati rasa keadilan itu. Sementara sila ke 4 hilang, entah sengaja atau memang mereka tidak hafal karena kalimat yang terlalu panjang.


Begitulah Papua, mereka sepertinya merasa terasing di negerinya sendiri. Papua biar bagaimanapun tetap bagian dari Indonesia.