Duka mendalam dirasakan tim Ujung Negeri ketika mendengar kabar dari rekan kerja yang meliput di tanah Papua, bahwa salah satu narasumbernya ketika liputan di Kampung Kibay, Keerom, Papua, meninggal ketika melahirkan putra sematawayangnya tanpa bantuan medis.
Carolina Cuntuy, menghembuskan nafas tanggal 18 Juli 2011.
Carolina adalah potret kebanyakan kaum perempuan di pedalaman Papua. Mereka lebih memilih melahirkan di hutan dibandingkan rumah sakit. Bukan tanpa alasan, karena akses dan sarana transportasi menuju rumah sakit yang selalu ada di pusat kota sangatlah minim.
Perjalanan saya menuju Kampung Kibay tidaklah mudah. Maklum saja otonomi khusus yang digembar-gemborkan pemerintah hanya terjadi di pusat kota. Di pedalaman dan perbatasan, hanya ada jalan tanah dan berbatu. Mobil pun harus menggunakan double gardan.
Pemandangan selama di perjalanan hanyalah tampak hutan gundul. Hutan yang sengaja dibuka untuk perkebunan kelapa sawit. Beruntung, kebun kelapa sawit ini membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat lokal. Semua pekerja diangkut menggunakan truk untuk pergi dan pulang.
Akses jalan yang bisa dilalui mobil hanya sampai di depan kampung. Kibay hanya bisa ditempuh dengan berjalan kaki selama 1 jam menembus hutan. Inilah potret kampung di perbatasan. Benar-benar terisolir.
Kibay adalah tempat 33 kepala keluarga masyarakat asli Papua bermukim. Kondisinya memang memprihatinkan, tak ada sarana mandi cuci kakus (MCK). Semua dilakukan di kali Asin yang mengalir di kampung ini. Tak heran banyak anak-anak yang terserang penyakit kulit. Bayangkan saja, mereka tidak mengenal sabun, apalagi pasta dan sikat gigi. Berendam di sungai menurut mereka sudah bersih.
50 anak kampung Kibay bisa menikmati pendidikan. Ruang kelas yang tersedia di Sekolah Dasar Inpres hanya 2 dan 2 guru honorer. Jadwal belajar mengajar diatur supaya semua tingkatan kelas bisa belajar setiap harinya. Tak ada siswa kelas 6 di sini, karena mereka harus pindah ke pusat distrik yang berjarak 11 kilometer. Meski dengan keterbatasan, mereka (para siswa-red) sangat bersemangat.
Ketika saya datang ke sekolah, mereka sedang melakukan upacara penghormatan kepada sang saka merah putih yang sudah kusam dan terkoyak di ujungnya. Sebagai rakyat Indonesia, Pancasila sepertinya sudah di luar kepala (hafal-red). Tapi tidak di sini, masyarakat Kibay tidak hafal sila dalam Pancasila. Sila 1 hingga 3, mereka masih lancar melafalkannya. Setelah itu, yang terucap langsung Sila ke 5, itupun hanya penggalan kata "Bagi seluruh rakyat Indonesia". Kata keadilan tidak diikut sertakan, apa karena masyarakat di sana merasa belum menikmati rasa keadilan itu. Sementara sila ke 4 hilang, entah sengaja atau memang mereka tidak hafal karena kalimat yang terlalu panjang.
Begitulah Papua, mereka sepertinya merasa terasing di negerinya sendiri. Papua biar bagaimanapun tetap bagian dari Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar